Label

Rabu, 27 Maret 2013

Sufi atau Shûfiy, Kapan & Bagaimana Tahap Kemunculannya ?

PENDAHULUAN

Benarkah tasawuf merupakan ajaran Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam dan sudah muncul semenjak zaman Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam? Atau benarkah merupakan amaliyah para Sahabat radhiyallâhu 'anhum dan sudah muncul semenjak zaman mereka?

Jika memang demikian, tentu ada riwayatnya dan sudah tercatat dalam sejarah. Tentu pula istilah tasawuf dan sufi (menurut lidah dan ejaan bahasa Indonesia), atau tashawwuf dan shûfiy (menurut ejaan dan lidah bahasa Arab) tidak akan diperdebatkan oleh Ulama tentang akar kata kalimat tersebut.

Pada kenyataannya, tidak ada satupun riwayat shahîh yang menerangkan kalimat tersebut. Bahkan riwayat dha’îf pun tentang kalimat itu sulit dicari. Bahkan ditinjau dari sisi bahasa Arab pun, para Ulama berselisih pendapat tentang asal mula kata tersebut. Maka ini tentu menunjukkan bahwa kata sufi dan tasawuf tidak memiliki akar kata yang jelas dalam bahasa Arab.

(Makalah ini merupakan ringkasan dari Kitab Nasy’atu Bida’i ash-Shufiyah, Dr. Fahd bin Sulaiman al-Fuhaid, yang pernah dikaji di Daurah Syar’iyyah II di Bogor, tanggal 22-28 Syawal 1433 H/9-15 September 2012 M, dibawakan oleh Syaikh Dr. Musa al-Nashr dari Yordania. Makalah ini sendiri mengambil sub judul Marahil Bida’i at-Tashawwuf, hlm. 19-24. Diringkas oleh Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin)

TAHAP-TAHAP MUNCULNYA TASHAWUF DAN SHUFI

Tahap Pertama

Menurut para peneliti sejarah, benih-benih ajaran sufi (atau shûfiy) mulai muncul pada zaman Tâbi’în, tanpa nama dan istilah-istilah khusus. Dilakukan oleh sebagian ahli ibadah yang pernah berjumpa dengan sebagian Sahabat Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam. Waktu itu mereka dikenal sebagai Nussâk (ahli ibadah), zuhhâd (orang-orang zuhud), orang-orang yang gampang menangis, orang-orang alim, ahli taubat dan sebutan lain yang senada. Intinya orang-orang yang dikenal bersifat ahli ibadah, ahli zuhud dan memutuskan diri dari urusan duniawi, khususnya ahli ibadah di Irak, Kufah dan Bashrah. Pada diri orang-orang tersebut terlihat tanda-tanda sikap berlebihan dalam mengekang diri dan dalam menambah-nambahkan apa yang tidak ada pada para Sahabat Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam.

Dr. Fahd bin Sulaiman al-Fuhaid, penyusun Kitab Nasy’atu Bida’i ash-Shufiyah, menukil dialog antara Bard, seorang bekas budak Sa’id bin al- Musayyib rahimahullâh, dengan bekas majikannya (Sa’id bin al-Musayyib rahimahullâh), dari Kitab Thabaqat Ibni Sa’d V/135.

Bard berkata kepada Sa’id rahimahullâh, “Aku lihat betapa bagus apa yang mereka perbuat.”

Sa’id rahimahullâh bertanya, “Apa yang mereka perbuat?”

Bard menjawab, “Aku lihat seseorang di antara mereka shalat Zhuhur, kemudian ia terus membariskan kedua kakinya sambil shalat hingga datang waktu Ashar.”

Sa’id rahimahullâh berkata, “Aduhai celaka engkau hai Bard, ketahuilah demi Allâh Ta'âla! Hal yang demikian itu bukanlah ibadah! Sesungguhnya ibadah itu tidak lain adalah menghayati dan menjalankan perintah Allâh Ta'âla serta menahan diri untuk tidak melanggar apa-apa yang diharamkan Allâh Ta'âla.”

Itulah kemunculan tahap awal bagi tasawuf. Dan pada tahap ini, belum ada bid’ah dalam arti teoritis dan belum ada perdebatan ilmiyah tentang mereka. Demikian pula, belum ada lambang-lambang atau istilah-istilah tertentu bagi mereka. Merekapun tidak membuat istilah atau bahasa-bahasa khusus bagi dirinya. Lebih penting lagi, mereka pada saat itu belum menggunakan nama tertentu. (Yang ada waktu itu adalah sikap berlebihan dalam mengekang diri dan dalam menambah-nambahkan apa yang tidak ada pada para Shahabat Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam. Sebagaimana telah dikemukakan di atas-pen.)

Tahap Kedua: Tersebarnya Sebutan Tasawuf dan Sufi

Terdapat perbedaan pendapat tentang kapan dan siapa yang pertama-tama mencetuskan nama sufi atau menamakan diri sebagai sufi. Ada yang mengatakan bahwa orang yang pertama kali dikenal sebagai sufi adalah Abu Hâsyim al-Kûfi, wafat di Syâm setelah pindah dari Kûfah pada tahun 150 H atau 162 H.
Sebagian ahli sejarah yang lain menyebutkan bahwa Abdak, singkatan dari Abdul Karim, (wafat 210 H) adalah yang pertama-tama menyebut diri sebagai sufi. Dr. Fahd kemudian menukil pernyataan seorang Ulama Syâfi’iyah bernama Muhammad bin Ahmad al-Malthi as-Syâfi’i yang menyebutkan dalam kitabnya, at-Tanbîh wa ar-Raddu ‘ala Ahli al-Ahwâ’ wa al-Bida’, bahwa Abdak adalah pemimpin salah satu firqah di antara firqah-firqah zindiq.

Muhammad al-Malthi selanjutnya menyebutkan dalam kitabnya itu bahwa di antara ciri firqah ini adalah mengharamkan semua apa yang ada di dunia kecuali makanan pokok. Dunia semuanya tidak halal kecuali jika dengan kepemimpinan seorang Imam yang adil. Bila tidak ada imam yang adil, maka dunia itu semuanya haram, begitu juga bermu’amalah dengan penghuninyapun haram. Nama dari golongan ini adalah al-’Abdakiyah, sebab Abdaklah yang telah meletakkan asas ajaran ini bagi mereka, dialah yang mengajak mereka untuk mengikuti ajaran ini dan memerintahkan untuk mempercayainya.

Sementara Ibnu an-Nadim, dalam kitabnya, al-Fahras menyebutkan bahwa Jâbir bin Hayyan, seorang murid Ja’far ash-Shadiq, wafat tahun 208 H, itulah yang pertama kali menamakan diri sebagai sufi, sedangkan ia adalah seorang penganut Syî’ah.[1]

Karena perselisihan pendapat tentang kapan atau siapa yang pertama-tama menamakan diri sebagai sufi, maka sebagian peneliti cenderung berpendapat bahwa tasawuf adalah ajaran asing yang menyusup kedalam Islam. Dibentuk oleh kaum zindik dan kaum Rafidhah (Syî’ah) yang terkenal sebagai golongan yang selalu membuat tipu daya terhadap kaum Muslimin semenjak zaman dahulu.

Intinya, kemunculan tasawuf dan sufi pada tahap kedua memiliki ciri menonjol berupa:
  1. Munculnya berbagai keadaan yang mengherankan dan berbagai perilaku yang aneh dari orang-orang yang dikenal ahli ibadah dan ahli zuhud, jauh lebih banyak dari generasi sebelumnya.
  2. Munculnya sebutan tasawuf dan sufi. Ini merupakan permulaan bagi tersebarnya nama-nama tersebut secara meluas dikemudian hari serta istilah-istilah lain yang membarenginya. Misalnya istilah hub (cinta) dan fana’. Ini terjadi pada permulaan abad kedua Hijriyah. Yaitu kira-kira pada saat munculnya Abu Hâsyim as-Sufi dan yang semisalnya.

    Kemudian, pada tahap ini, di antara hal yang dikisahkan tentang mereka ialah adanya sebagian orang yang membangun tempat ibadah khusus yang terasing dari orang lain. Ada pula yang melakukan peribadatan di goa-goa, atau melakukan peribadatan dengan menjalankan laku di padang-padang pasir luas, serta kisah-kisah lain yang menunjukkan gemarnya sebagian mereka berperilaku berlebih-lebihan. Sementara sebagian perilaku menunjukkan kebodohan serta kurangnya akal.
  3. Munculnya ungkapan, sebutan serta istilah-istilah yang jelas-jelas salah, berkenaan dengan masalah tawakal ataupun masalah lain, sehingga karenanya mereka melakukan penyimpangan terhadap syariat. Misalnya istilah ilmu (yang memiliki konotasi lain menurut mereka), tarekat dan lain-lainnya.
Ini semua menunjukkan adanya permulaan sikap fanatisme golongan dan perpecahan.

Tahap Ketiga

Tahap ini merupakan kepanjangan tahap sebelumnya. Terjadi sesudah penghabisan abad kedua Hijriyah atau sesudahnya. Pada tahap ini muncul sesuatu yang berbeda secara nyata dibandingkan dengan tahap sebelumnya.

Muncul pula istilah-istilah yang maknanya kabur dan memungkinkan untuk ditafsirkan dengan banyak maksud. Sehingga ada sebagian di antara mereka yang, karena husnu zhan, membawanya pada makna yang sejalan dengan ajaran Islam. Tetapi banyak di antaranya yang memahaminya dengan makna yang memicu permulaan bagi lahirnya pembuatan bid’ah. Bahkan bagi lahirnya sikap zindîq dan kufur. Sebab istilah-istilah tersebut mirip dengan istilah-istilah aliran bathiniyah.

Di antara istilah-istilah tersebut ialah; al-wihdah (mengandung makna wihdatul wujûd, manunggaling kawula lan gusti, yaitu menyatunya hamba dengan Tuhan), al-fana (leburnya seseorang kedalam rubûbiyah Allâh Ta'âla/ketuhanan), al-ittihâd (menyatunya manusia dengan Tuhan), al-hulûl (menjelma/ menempatnya Tuhan pada makhluk), as-sukru (hilangnya kesadaran diri karena Tuhan menyatu dengan dirinya), al-kasyf (mampu mengetahui secara gaib apa yang tidak diketahui orang biasa), al-murîd (murid yang harus taat mutlak kepada Syaikh tarekatnya), al-’ârif (orang yang sudah sampai pada peringkat ma’rifat, di atas syariat), al-hal (kondisi aneh dengan perilaku tertentu atau kemampuan tertentu) dan istilah-istilah lainnya.

Masuk dalam golongan tahap ini; para murid al-Hârits al-Muhasibi dan orang-orang sesudahnya, juga al-Junaid serta gurunya, yaitu as-Sariy as-Saqthiy, dan guru as-Sariy, yaitu Ma’rûf al-Karkhi. Juga Dzu an-Nun al-Mishriy, Abu Sa’id al-Kharaz dan lainnya.

Sebagian perilaku aneh dan tidak masuk akal yang dilakukan sebagian mereka pada tahap ini misalnya, adalah apa yang dilakukan oleh seseorang yang bernama Ahmad an-Nawawi (wafat 295 H). Ia naik ke atas suatu jembatan, lalu karena kesufiannya, ia membuang 300 dinar uang hasil penjualan rumahnya ke dalam air satu persatu hingga habis, seraya berkata kepada Allâh Ta'âla , “Ya Allâh Ta'âla yang ku cintai! Engkau ingin menipu aku dengan uang dari-Mu seperti ini?”[2]

Oleh sebab itu, beberapa peneliti sejarah mengatakan, bahwa aliran tasawuf mencapai tingkat kematangannya pada abad ketiga Hijriyah. Dari sini dapat dikatakan bahwa tasawuf yang sebenarnya baru muncul pada abad ketiga Hijriyah ini.[3]

Pada tahap ini pula, dengan melihat istilah-istilah sufi yang makin berkembang, dapat diketahui seberapa jauh pengaruh sumber-sumber ajaran asing terhadap ajaran sufi, baik dalam hal kata-kata, perbuatan dan perilaku ibadah mereka.

Kemudian pengaruh yang membawa perubahan ini membuktikan lahirnya permulaan gagasan baru bagi kalangan sufi dan istilah-istilah khusus yang lebih baru lagi. Misalnya perhatian besar mereka terhadap kebiasaan ‘isyq (yaitu cinta kasih yang terwarnai oleh syahwat, umpamanya kepada anak-anak muda usia tanggung), mahabbah, hiyam (hilangnya akal karena saking cinta), dzuhul (linglung karena saking cinta) dan lain-lainnya.

Lebih parah dari itu semua adalah bahwa ibadah akhirnya bukan lagi menjadi tujuan tertinggi. Tetapi ibadah hanyalah sebagai pendahuluan bagi tujuan yang lebih tinggi lagi, yaitu terwujudnya wihdatul wujûd (menyatunya makhluk dengan Tuhan), serta hulûl (bahwa Allâh Ta'âla menjelma dan menempat pada diri makhluk).

Perlu dijelaskan pula di sini bahwa pada tahap ketiga ini, mulai lahir sikap fanatisme golongan yang dilarang dalam syarî’at, dan sikap ta’ashub (fanatik) kepada syaikh-syaikh sufi. Ini merupakan pangkal dari lahirnya tarekat-tarekat sufi. Karena itu, menjadi jelas sekali pada tahap ini, bahwa masing-masing kelompok sufi sangat fanatik terhadap syaikh tarekatnya. Masing-masing syaikh memiliki tarekatnya sendiri, baik dalam masalah adab, manhaj maupun dzikir. Masing-masing Syaikh memiliki kekuasaan terhadap murîd-murîd (pengikut-pengikut) nya.

Tahap Keempat

Yaitu tahap tasawuf hulûliy ittihâdiy. Tahap lahirnya pernyataan sebagian sufi akan manunggaling kawula lan gusti, yaitu menyatunya hamba dengan Tuhan. Secara terbuka dan terang-terangan sebagian mereka menegaskan kalimat kufur dan sesat ini.

Di antara tokohnya adalah al-Hallâj, yaitu Husain bin Manshûr al-Hallâj yang dihukum bunuh karena dinyatakan murtad pada tahun 309 H. Dialah tokoh paling masyhur yang menyatakan prinsip menyatunya makhluk dengan Tuhan, dan bahwa Allâh Ta'âla berada serta menyatu pada setiap makhluk-Nya. Lahirlah dari orang ini berbagai bentuk kekufuran besar. Disusul kemudian oleh tokoh-tokoh sesudahnya yang meneruskan jejaknya dalam kekafiran ini.

Inilah akhir dari perjalanan tasawuf. Istilah-istilah yang maknanya sebelumnya kabur menjadi semakin jelas, yaitu bahwa ujung-ujungnya bermuara pada maksud terwujudnya wihdatul wujûd. Bahwa Tuhan dan makhluk adalah satu. (Inilah kekufuran yang lebih dahsyat daripada kekufuran kaum Nasrani-pent.)[4]

Pada tahap ini muncul quthub-quthub (pemimpin-pemimpin) sufi. Lahirlah secara nyata aliran-aliran tarekat sufi. Pada tahap ini pula, filsafat Yunani banyak menyusup ke kalangan mereka disebabkan terbukanya penerjemahan buku-buku Yunani secara luas. Juga tersebarnya ajaran-ajaran bathiniyah.

Abbâs al-’Azawi, seorang sejarawan Irak (wafat 1391 H) menyebutkan, bahwa para ahli tasawuf yang ekstrim sangat giat dalam aktifitasnya pada akhir abad ketiga Hijriyah. Mereka sangat aktif menekuni madzhab al-Hallâj, di samping juga terpengaruh oleh filsafat plato di satu sisi, dan filsafat Hindu di sisi yang lain.

Begitulah seterusnya hingga pada pertengahan abad keenam Hijriyah mereka terus memanfaatkan kesempatan untuk mendakwahkan pemahamannya.[5]

Demikianlah secara garis besar tahap-tahap kemunculan tasawuf dan sufi. Awalnya pada zaman Tâbi’în, hanya merupakan kegiatan tanpa sebutan dan nama. Kemudian tahap kedua, pada awal abad kedua Hijriyah, mulailah muncul istilah sufi dan beberapa istilah baru yang tidak dikenal pada zaman Sahabat radhiyallâhu 'anhum. Disusul tahap ketiga yang dimulai pada akhir abad kedua Hijriyah atau awal abad ketiga Hijriyah. Pada tahap ini tasawuf mencapai kematangannya. Bahkan dikatakan bahwa tasawuf yang sesungguhnya muncul pada abad ketiga ini. Selanjutnya tahap keempat di akhir abad ketiga Hijriyah, tasawuf sampai pada tujuan akhirnya, yaitu wihdatul wujâd dan hulûl (bahwa makhluk menyatu dengan Tuhan, dan Tuhan berada pada setiap makhlukNya) dan ini tentu merupakan kekufuran. Nas’alullâha minal kufri wa adh-dhalâlati.

[1] Dr. Fahd menukil dari kitab ash-Shilah baina at-Tashawwuf wa at-Tasyayyu’, karya Dr. Kamil asy-Syaibiy, hlm. 105
[2] Dr. Fahd menukil kisah ini dari kitab al-Luma’ fi at-Tashawwuf, karya ath-Thûsiy, hlm. 210
[3] Menukil dari Târikh at-Tashawwuf, Qosim Ghani
[4] Lihat Taqrîb at-Tadmuriyah, Syaikh Muhammad bin Shâlih al- Utsaimin rahimahullâh, pada fasal pembahasan Fil fana’ wa Aqsâmihi; al-Qismu ats-Tsalits, hlm. 125-126
[5] Diketengahkan dan diterjemahkan dengan ringkas dan dengan bahasa bebas


(Sumber: Majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XVI).










Tidak ada komentar:

Posting Komentar