Label

Rabu, 10 Juli 2013

'Ilmu Qiro`ah

A. Pengertian Ilmu Qira’at

Qira’at adalah bentuk jamak dari kata Qira’ah yang secara bahasa berarti bacaan. Secara Istilah, al-Zarqani: “Suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam Qira’at yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan Al-Qur’an al-Karim serta sepakat riwayat-riwayat dan jalur-jalur daripadanya, baik perbedaan ini dalam pengucapan huruf-huruf maupun dalam pengucapan keadaan-keadaannya”.[1]

Definisi ini mengandung tiga unsur pokok. Pertama, Qira’at dimaksud menyangkut bacaan ayat-ayat. Cara membaca al-Qur’an berbeda dari satu imam dengan imam Qira’at lainnya. Kedua, cara-cara bacaan yang dianut dalam suatu madzhab Qira’at didasarkan atas riwayat dan bukan atas qiyas atau ijtihad. Ketiga, perbedaan antara Qira’at-qira’at bisa terjadi dalam pengucapan huruf-huruf dan pengucapannya dalam berbagai keadaan.

Ilmu Qiraat tidak bisa dipelajari melalui sebuah buku. Dan ilmu Qiraat adalah ilmu yang disampaikan atau diriwayatkan kepada seseorang melalui lisan. Misalnya seseorang yang hafal tentang kitab tentang Qira’at (Al-Taisir) misalnya, ia belum dapat meriwayatkan isinya selama gurunya tidak meriwayatkan/mengajarkannya secara lisan. Sebab dalam masalah Qira’ah banyak hal yang tidak dapat ditetapkan kecuali melalui pendengaran dan penglihatan (karena ada gerakan lisan tertentu).

Perlu difahami bahwa al-Qur’an yang tercetak belum dapat dijadikan pegangan dalam masalah Qira’at. Suatu kenyataan bahwa banyak mushaf yang dicetak di belahan dunia Islam sebelah timur berbeda dengan yang dicetak di Afrika Utara misalnya karena qiraat yang umum diikuti kedua wilayah tersebut berbeda. Bahkan mushaf-mushaf yang ditulis atas perintah Utsman tersebut tidak bertitik dan berbaris.. karena itu, mushaf-mushaf tersebut dapat dibaca dengan berbagai Qiraat.

Para sahabat tidak semuanya mengetahui semua cara membaca al-Qur’an. sebagian mengambil satu bacaan dari rasul, sebagian mengambil 2 dan yang lainnya mengambil lebih dari itu sesuai dengan kemampuannya dan kesempatannya masing-masing untuk mempelajari dari nabi. Dan para sahabat berpencar ke berbagai kota dan daerah dengan membawa dan mengajarkan cara baca yang mereka ketahui sehingga cara baca menjadi populer di kota atau tempat mereka mengajarkannya. Maka terjadilah perbedaan cara baca al-Qur’an dari suatu kota ke kota lain. Kemudian para tabiin menerimanya dari tabiin antara generasi berikutnya. Hanya saja sebagian menjadi populer dan lainnya tidak dan sebagian riwayatnya mutawatir dan lainnya tidak.

Meluasnya agama Islam dan dan menebarnya para sahabat dan tabiin yang mengajarkan al-Qur’an menyebabkan timbulnya berbagai Qira'at. Perbedaan Qira'at yang satu dengan lainnya bertambah besar sehingga sebagian riwayatnya tidak dapat lagi dipertanggunggjawaban. Para ulama menulis Qira'at-qira'at ini dan sebagiannya menjadi masyhur sehingga lahirlah istilah Qiraat tujuh, Qiraat sepuluh, “Qiraat empat belas”.

Ilmu qira’at adalah ilmu yang lahir pada masa yang sebelumnya tidak pernah disebut-sebut. Orang yang pertama menyusunnya adalah Abi Ubaid al-Qasim ibnu Sallam, Abu Hatim as-Sajistany, Abi Ja’far ath-Thabary dan Ismail al-Qadhy. [2]

B. Dalil-dalil Diturunkannya Al-Qur’an Dengan Tujuh Huruf

…إن هذا القرآن أنزل على سبعة أحرف فاقرؤوا ما تيسر منه
…أقرأني جبريل على حرف فراجعته فلم أزل أستزيده ويزيدني حتى انتهى إلى سبعة أحرف

(HR. Bukhari:2291, 2980, 2607, 2653; Muslim, 1273, 1354, 1355, 1356, 1357, 2000)

1. Imam Bukhari dan Imam Muslim

Dalam shahihnya meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas Radiyallahu'anhu bahwa ia berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Jibril membacakan Al-Qur’an kepadaku dengan satu huruf kemudian aku mengulanginya. (Setelah itu) senantiasa aku meminta tambah dan iapun menambahiku sampai dengan tujuh huruf”. Imam Muslim menambahkan: “Ibnu Syihab mengatakan: Telah sampai berita padaku bahwa tujuh huruf itu untuk perkara yang satu yang tidak diselisihkan halal haramnya”.

2. Imam Bukhari 

Meriwayatkan yang lafazhnya dari Bukhari bahwa; Umar bin Khattab berkata: “Aku mendengar Hisyam bin Hakim membaca surat Al-Furqan di masa hidupya Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam, aku mendengar bacaannya, tiba-tiba ia membacanya dengan beberapa huruf yang belum pernah Rasulullah Shallallaahu 'alihi wa sallam membacakannya kepadaku sehingga aku hampir beranjak dari shalat, kemudian aku menunggunya sampai salam. Setelah ia salam aku menarik sorbannya dan bertanya: “Siapa yang membacakan surat ini kepadamu?”. Ia menjawab: “Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam yang membacakannya kepadaku”, aku menyela: “Dusta kau, Demi Allah sesungguhnya Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah membacakan surat yang telah kudengar dari yang kau baca ini”.

Setelah itu aku pergi membawa dia menghadap Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam lalu aku bertanya: “Wahai Rasulullah aku telah mendengar lelaki ini, ia membaca surat Al-Furqan dengan beberapa huruf yang belum pernah engkau bacakan kepadaku, sedangkan engkau sendiri telah membacakan surat Al-Furqan ini kepadaku”. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam menjawab: “Hai Umar! lepaskan dia. “Bacalah Hisyam!”. Kemudian ia membacakan bacaan yang tadi aku dengar ketika ia membacanya. Rasululllah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Begitulah surat itu diturunkan” sambil menyambung sabdanya: “Bahwa Al-Qur’an ini diturunkan atas tujuh huruf maka bacalah yang paling mudah!”.

Dalam satu riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam mendengarkan pula bacaan sahabat Umar raadiyallaahu'anhu kemudian beliau bersabda: “Begitulah bacaan itu diturunkan”.

3. Imam Muslim
 
Meriwayatkan dengan sanadnya dari Ubay Bin Ka’ab ia berkata: “Aku berada di masjid, tiba-tiba masuklah lelaki, ia shalat kemudian membaca bacaan yang aku ingkari. Setelah itu masuk lagi lelaki lain membaca berbeda dengan bacaan kawannya yang pertama”. Setelah kami selesai shalat, kami bersama-sama masuk ke rumah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam, lalu aku bercerita: “Bahwa si lelaki ini membaca bacaan yang aku ingkari dan kawannya ini membaca berbeda dengan bacaan kawannya yang pertama”. Akhirnya Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam memerintahkan keduanya untuk membaca.

Setelah mereka membaca Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam menganggap baik bacaannya. Setelah menyaksikan hal itu, terhapuslah dalam diriku sikap untuk mendustakan, tidak seperti halnya diriku ketika masa Jahiliyyah. Nabi menjawab demikian tatkala beliau melihat diriku bersimbah peluh karena kebingungan, ketika itu keadaan kami seolah-olah berkelompok-kelompok di hadapan Allah Yang Maha Agung.

Setelah melihat saya dalam keadaan demikian, beliau menegaskan pada diriku dan berkata: “Hai Ubay! Aku diutus untuk membaca Qur’an dengan suatu huruf lahjah (dialek)”, kemudian aku meminta pada Jibril untuk memudahkan umatku, dia membacakannya dengan huruf kedua, akupun meminta lagi padanya untuk memudahkan umatku, lalu ia menjawab untuk ketiga kalinya. “Hai Muhammad, bacalah Qur’an dalam 7 lahjah dan terserah padamu Muhammad apakah setiap jawabanku kau susul dengan pertanyaan permintaan lagi”.

Kemudian aku menjawabnya: “Wahai Allah! Ampunilah umatku, ampunilah umatku dan akan kutangguhkan yang ketiga kalinya pada saat dimana semua makhluk mencintaiku sehingga Nabi Ibrahim 'Alaihissalaam”. Imam Qurthubi berkata: “Denyutan hati ini (dalam jiwa Ubay) akibat dari sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam ketika orang-orang bertanya kepadanya: “Bahwasanya kami mendapatkan sesuatu dalam diri kami, dimana seseorang merasa berat sekali untuk mengatakannya”. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bertanya: “Apakah sudah kalian temui jawabannya?”. “Ya” jawab mereka. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Itu adalah iman yang jelas”. (HR. Muslim)

4. Imam Muslim 

Dengan sanad dari Ubay bin Ka’ab meriwayatkan bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam ketika berada di Oase Bani Ghaffar didatangi malaikat Jibril Alaihissalaam lalu Jibril berkata: “Sesungguhnya Allah Subhaanahu wa ta'aala telah memerintah engkau unfuk membacakan Al-Qur’an kepada ummatmu dengan satu huruf”. Nabi menjawab: “Aku meminta dulu kepada Allah sehat dan ampunannya, sebab ummatku tidak mampu menjalankan perintah itu”.

Kemudian Jibril datang untuk kedua kalinya, seraya berkata: “Allah Subhaanahu wa ta'aala telah memerintahkan kau untuk membacakan Al-Qur’an dengan dua huruf”. Nabi menjawab: “Aku meminta sehat dan ampunan dulu kepada Allah, karena ummatku tidak kuat menjalankannya”.

Jibril datang lagi untuk ketiga kalinya dan berkata: “Allah Subhaanahu wa ta'aala telah memerintahkan kau untuk membacakan Al-Qur’an kepada ummatmu dengan tiga huruf. Nabi menjawab: “Aku minta sehat dan maghfirah dulu kepada Allah, sebab ummatku tidak sanggup mengerjakannya”.

Jibril datang lagi untuk keempat kalinya seraya berkata: “Kau telah diperintahkan Allah untuk membacakan Al-Qur’an kepada ummatmu dengan tujuh huruf dan huruf mana saja yang mereka baca berarti benar”.

5. At-Turmudzy 

Juga meriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, ia mengatakan: “Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam berjumpa dengan Jibril di gundukan Marwah”. Ia (Ka’ab) berkata: “Kemudian Rasul berkata kepada Jibril bahwa aku ini diutus untuk ummat yang ummy (tidak bisa menulis dan membaca). Diantaranya ada yang kakek-kakek tua, nenek-nenek bangka dan anak-anak”. Jibril menjawab: “Perintahkan, membaca Al-Qur’an dengan tujuh huruf”. Imam Turmudzy mengatakan: “Hadits ini hasan lagi shahih”.

Dalam suatu lafazh lain disebutkan: “Barangsiapa membacanya dengan satu huruf saja berarti telah membaca seperti ia (Nabi) membaca”.

Dituturkan dalam lafazh Hudzaifah, kemudian aku berkata: “Wahai Jibril bahwa aku diutus untuk ummat yang ummiyah di dalamnya terdapat orang lelaki, perempuan, anak-anak, pelayan (babu) dan kakek tua yang tidak bisa membaca sama sekali”. Jibril balik berkata: “Bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf”.

6. Imam Ahmad 
7. Al-Hafizh Abu Ya’la
8. Ath-Thabary dan Ath-Thabrany
9. Ibnu Jarir Ath-Thabary
 
C. Pengertian ‘Tujuh Huruf’ 

Pendapat yang paling masyhur mengenai pentafsiran Sab’atu Ahruf adalah pendapat Ar- Razi dikuatkan oleh Az-Zarkani dan didukung oleh jumhur ulama. Perbedaan yang berkisar pada tujuh wajah;

1. Perbedaan pada bentuk isim , antara mufrad, tasniah, jamak muzakkar atau mu’annath. Contohnya,

وَالَّذِينَ هُمْ لأمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ (Al-Mukminun:8)

Lafadz bergaris dibaca secara jamak لأمَانَاتِهِمْ dan mufrad لأمَانتِهِمْ.

2. Perbedaan bentuk fi’il madhi , mudhari’ atau amar. Contohnya,

فَقَالُوا رَبَّنَا بَاعِدْ بَيْنَ أَسْفَارِنَاٍ (Saba’ : 19)

Sebahagian qiraat membaca lafadz ‘rabbana’ dengan rabbuna, dan dalam kedudukan yang lain lafadz ‘ba’idu’ dengan ‘ba’ada’.

3. Perbedaan dalam bentuk ‘irab.

Contoh, lafad إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلا يُضَارَّ كَاتِبٌ (Al-Baqarah: 282) dibaca dengan disukunkan huruf ‘ra’ sedangkan yang lain membaca dengan fathah.

4. Mendahulukan (taqdim) dan mengakhirkan (ta’khir).
Contoh,

وَجَاءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَق (Surah Qaf: 19) dibaca dengan didahulukan ‘al-haq’ dan diakhirkan ‘al-maut’, وَجَاءَتْ سَكْرَةُالْحَق بِالْمَوْتِ . Qiraat ini dianggap lemah.

5. Perbedaan dalam menambah dan mengurangi.

Contoh ayat 3, Surah al-Lail,

وَمَا خَلَقَالذَّكَرَ وَالأنْثَى

Ada qira'at yang membuang lafad ‘ma kholaqo’(bergaris).

6. Perbedaan ibdal (ganti huruf).

Contoh, kalimah ‘nunsyizuha’ dalam ayat 259 Surah al-Baqarah dibaca dengan ‘nunsyiruha’ (‘zai’ diibdalkan dengan huruf ‘ra’).

7. Perbedaan lahjah

Seperti dalam masalah imalah, tarqiq, tafkhim, izhar, idgham dan sebagainya. Perkataan ‘wadduha’ dibaca dengan fathah dan ada yang membaca dengan imalah (teleng) dengan bunyi ‘wadduhe’ (sebutan antara fathah dan kasrah).

D. Jumlah Qira’at Dan Aneka Ragam Pendapat Tentang Qira’at

Qira’at ada macam-macam jenisnya. pendapat tentang qira’at itu sendiri juga sangatlah beragam dan semua pendapat tersebut sangatlah berbobot seperti yang tertera di bawah ini. Pengarang kitab Al-Itqan menyebutkan macam-macam qira’at itu ada yang mutawatir, masyhur, Syadz, ahad, maudhu’ dan mudarraj[3].

Qadhi’ Jalaluddin al-Bulqiny mengatakan: Qira’at itu terbagi ke dalam: mutawatir, ahad dan syadz.
Yang mutawatir adalah qira’at tujuh yang masyhur. Yang ahad adalah qira’at tsalatsa (tiga) yang menjadi pelengkap qira’ah ‘asyrah (sepuluh), yang kesemuanya dipersamakan dengan qira’at para sahabat. Adapun qira’at yang syadz ialah qira’at para tabi’in seperti qira’at A’masy, Yahya ibnu Watsab, Ibnu Jubair dan lain-lain.

Imam as-Suyuthy mengatakan bahwa kata-kata di atas perlu ditinjau kembali. Yang pantas untuk berbicara dalam bidang ini adalah tokoh qurra’ pada masanya yang bernama Syaikh Abu al-Khair ibnu al-Jazary dimana beliau mengatakan dalam muqaddimah kitabnya An-Nasyr: “Semua qira’at yang sesuai dengan bacaan Arab walau hanya satu segi saja dan sesuai dengan salah satu mushhaf Utsmany walaupun hanya sekedar mendekati serta sanadnya benar maka qira’at tersebut adalah shahih (benar), yang tidak ditolak dan haram menentangnya, bahkan itu termasuk dalam bagian huruf yang tujuh dimana Al-Qur’an diturunkan. Wajib bagi semua orang untuk menerimanya baik timbulnya dari imam yang tujuh maupun dari yang sepuluh atau lainnya yang bisa diterima. Apabila salah satu persyaratan yang tiga tersebut di atas tidak terpenuhi maka qira’at itu dikatakan qira’at yang syadz atau bathil, baik datangnya dari aliran yang tujuh maupun dari tokoh yang lebih ternama lagi. Inilah pendapat yang benar menurut para muhaqqiq dari kalangan salaf maupun khalaf.

Pengarang kitab Ath-Thayyibah dalam memberikan batas diterimanya qira’at mengatakan: Setiap bacaan yang sesuai dengan nahwu, mirip dengan tulisan mushhaf Utsmany, benar adanya itulah bacaan. Ketiga sendi ini, bila rusak salah satunya menyatakan itu cacat, meski dari qira’at sab’ah datangnya.

Qira’at ada yang mengartikan qira’at sab’ah, qira’at sepuluh dan qira’at empat belas. Semuanya yang paling terkenal dan nilai kedudukannya tinggi ialah qira’at sab’ah.

Qira’at sab’ah (tujuh) adalah qira’at yang dinisbatkan kepada imam yang tujuh dan terkenal, yaitu: Nafi’, Ashim, Hamzah, Abdullah bin Amir, Abdullah ibnu Katsir, Abu Amer ibnu ‘Ala’ dan Ali al-Kisaiy.

Qira’at ‘asyar (sepuluh) adalah qira’at yang tujuh ditambah dengan qira’at: Abi Ja’far, Ya’qub dan Khalaf.

Qira’at arba’ ‘asyar (empat belas) yaitu qira’at yang sepuluh ditambah empat qira’at: Hasan al-Bashry, Ibnu Mahish, Yahya al-Yazidy dan asy-Syambudzy.

E. Qari Tujuh Yang Masyhur

Para Qari yang hafal Al-Qur’an dan terkenal dengan hafalan serta ketelitiannya, dan menyampaikan qira’at kepada kita sesuai dengan yang mereka terima dari sahabat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam.

Qira’at yang mutawatir semuanya kita kutip dari para qari yang hafal Al-Qur’an dan terkenal dengan hafalan serta ketelitiannya. Mereka ialah imam-imam qira’at yang masyhur yang meyampaikan qira’at kepada kita sesuai dengan yang mereka terima dari sahabat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam. Mereka memiliki keutamaan ilmu dan pengajaran tentang kitabullah Al-Qur’an sebagaimana sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam: “Sebaik-baiknya orang diantara kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya”.

Syaikh Abul Yusri ‘Abidin telah menyebutkan nama-nama qari dalam dua bait sya’ir: Nafi’, Ibnu Katsir, ‘Ashim dan Hamzah, Abu ‘Amer, Ibnu ‘Amir dan Kisaiy.

Itulah tujuh Imam yang tak diragukan lagi.

1. Ibnu ‘Amir
Nama lengkapnya adalah Abdullah al-Yahshshuby seorang qadhi di Damaskus pada masa pemerintahan Walid ibnu Abdul Malik. Pannggilannya adalah Abu Imran. Dia adalah seorang tabi’in, belajar qira’at dari Al-Mughirah ibnu Abi Syihab al-Mahzumy dari Utsman bin Affan dari Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam. Beliau Wafat di Damaskus pada tahun 118 H. Orang yang menjadi murid, dalam qira’atnya adalah Hisyam dan Ibnu Dzakwan.

Dalam hal ini pengarang Asy-Syathiby mengatakan: “Damaskus tempat tinggal Ibnu ‘Amir, di sanalah tempat yang megah buat Abdullah. Hisyam adalah sebagai penerus Abdullah. Dzakwan juga mengambil dari sanadnya.

2. Ibnu Katsir
Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Abdullah Ibnu Katsir ad-Dary al-Makky, ia adalah imam dalam hal qira’at di Makkah, ia adalah seorang tabi’in yang pernah hidup bersama shahabat Abdullah ibnu Jubair. Abu Ayyub al-Anshari dan Anas ibnu Malik, dia wafat di Makkah pada tahun 120 H. Perawinya dan penerusnya adalah al-Bazy wafat pada tahun 250 H. dan Qunbul wafat pada tahun 291 H.

Asy-Syathiby mengemukakan: “Makkah tempat tinggal Abdullah. Ibnu Katsir panggilan kaumnya. Ahmad al-Bazy sebagai penerusnya. Juga….. Muhammad yang disebut Qumbul namanya.

3. ‘Ashim al-Kufy
Nama lengkapnya adalah ‘Ashim ibnu Abi an-Nujud al-Asady. Disebut juga dengan Ibnu Bahdalah. Panggilannya adalah Abu Bakar, ia adalah seorang tabi’in yang wafat pada sekitar tahun 127-128 H di Kufah. Kedua Perawinya adalah; Syu’bah wafat pada tahun 193 H dan Hafsah wafat pada tahun 180 H.

Kitab Syathiby dalam sya’irnya mengatakan: “Di Kufah yang gemilang ada tiga orang. Keharuman mereka melebihi wangi-wangian dari cengkeh Abu Bakar atau Ashim ibnu Iyasy panggilannya. Syu’bah perawi utamanya lagi terkenal pula si Hafs yang terkenal dengan ketelitiannya, itulah murid Ibnu Iyasy atau Abu Bakar yang diridhai.

4. Abu Amr
Nama lengkapnya adalah Abu ‘Amr Zabban ibnul ‘Ala’ ibnu Ammar al-Bashry, sorang guru besar pada rawi. Disebut juga sebagai namanya dengan Yahya, menurut sebagian orang nama Abu Amr itu nama panggilannya. Beliau wafat di Kufah pada tahun 154 H. Kedua perawinya adalah ad-Dury wafat pada tahun 246 H. dan as-Susy wafat pada tahun 261 H.

Asy-Syathiby mengatakan: “Imam Maziny dipanggil orang-orang dengan nama Abu ‘Amr al-Bashry, ayahnya bernama ‘Ala, Menurunkan ilmunya pada Yahya al-Yazidy. Namanya terkenal bagaikan sungai Evfrat. Orang yang paling shaleh diantara mereka, Abu Syua’ib atau as-Susy berguru padanya.

5. Hamzah al-Kufy
Nama lengkapnya adalah Hamzah Ibnu Habib Ibnu ‘Imarah az-Zayyat al-Fardhi ath-Thaimy seorang bekas hamba ‘Ikrimah ibnu Rabi’ at-Taimy, dipanggil dengan Ibnu ‘Imarh, wafat di Hawan pada masa Khalifah Abu Ja’far al-Manshur tahun 156 H. Kedua perawinya adalah Khalaf wafat tahun 229 H. Dan Khallad wafat tahun 220 H. dengan perantara Salim.

Syatiby mengemukakan: “Hamzah sungguh Imam yang takwa, sabar dan tekun dengan Al-Qur’an, Khalaf dan Khallad perawinya, perantaraan Salim meriwayatkannya.

6. Imam Nafi.
Nama lengkapnya adalah Abu Ruwaim Nafi’ ibnu Abdurrahman ibnu Abi Na’im al-Laitsy, asalnya dari Isfahan. Dengan kemangkatan Nafi’ berakhirlah kepemimpinan para qari di Madinah al-Munawwarah. Beliau wafat pada tahun 169 H. Perawinya adalah Qalun wafat pada tahun 12 H, dan Warasy wafat pada tahun 197 H.

Syaikh Syathiby mengemukakan: “Nafi’ seorang yang mulia lagi harum namanya, memilih Madinah sebagai tempat tinggalnya. Qolun atau Isa dan Utsman alias Warasy, sahabat mulia yang mengembangkannya.

7. Al-Kisaiy
Nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Hamzah, seorang imam nahwu golongan Kufah. Dipanggil dengan nama Abul Hasan, menurut sebagiam orang disebut dengan nama Kisaiy karena memakai kisa pada waktu ihram. Beliau wafat di Ranbawiyyah yaitu sebuah desa di Negeri Roy ketika ia dalam perjalanan ke Khurasan bersama ar-Rasyid pada tahun 189 H. Perawinya adalah Abul Harits wafat pada tahun 424 H, dan ad-Dury wafat tahun 246 H. [4]

Inilah Qiraat yang 7, adapun tambahannya adalah:

8. Qiraat Ya’kub bin IshaQ Hadhrami. Meninggal 250 Hijrah.
9. Qiraat Khalaf bin Hisyam. Meninggal 229 Hijrah.
10. Qiraat Yazid bin Al- Qa’qa dikenali sebagai Abu Ja’far. Meninggal 130 Hijrah.

Disamping itu terdapat pula Qiraat 14, yakni ditambah :
11. Qiraat Hasan Al Bashri. Meninggal 110 Hijrah.
12. Qiraat Yahya bin Al Mubarak Al Yazid. Meninggal 202 Hijrah.
13. Qiraat Muhammad bin Abdurrahman yang dipanggil Ibnu Muhaishan. Meninggal 123 Hijrah.
14. Qiraat Abil- Faraj Muhammad bin Ahmad Asy- Syanbuzi. Meninggal 388 Hijrah.[5]

F. Syarat-Syarat Qiraat yang Muktabar dan Jenisnya

Untuk menangkal penyelewengan Qiraat yang sudah mulai muncul, para ulama membuat persyaratan-persyaratan bagi qiraat yang dapat diterima. Hal ini untuk membedakan Qiraat yang benar dan yang aneh/asing (Syazzah). Para ulama membuat tiga syarat. Pertama, Qiraat itu sesuai dengan bahasa Arab meskipun menurut satu jalan. Kedua, Qiraat itu sesuai dengan salah satu mushaf-mushaf utsmani. Ketiga, sahih sanadnya.


Referensi:
Ahmad Syadali dkk, Ulumul Qur;an, Pustaka Setia, 224
Abdul al Rahman bin Kamal Jalal al Din al Suyuti, al Itqan fi ulum al Qur’an, tt.

[1] Ahmad Syadali dkk, Ulumul Qur;an, Pustaka Setia, 224
[2] saved from url=(0067)http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/3/1/pustaka-30.html
[3] Abdul al Rahman bin Kamal Jalal al Din al Suyuti, al Itqan fi ulum al Qur’an, tt.
[4] saved from url=(0067)http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/3/1/pustaka-33.html
[5] saved from url=(0090)http://sabapersonalalbum.blogspot.com/2007/07/ulumul-quran-part-1-disusun-oleh-shinri.html


Di Sunting Abu Maryam Haazimah Dari: http://ahikmat.wordpress.com/2008/11/22/ilmu-qira%E2%80%99at/#_ftn3

Baca Juga : Mengenal Sekilas Imam Ahli Qira'ah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar