Saudaraku, wahai para suami dan para istri, sesungguhnya jima’ (hubungan intim suami istri)
adalah salah satu masalah penting yang mendapatkan perhatian dari
Islam, dan Islam telah menetapkan kaidah-kaidah dan adab-adabnya,
supaya tabiat manusia tidak seperti binatang yang tidak memiliki
aturan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuliakan manusia di atas makhluk-makhluk yang Allah ciptakan, sebagaimana firman-Nya:
( وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي
آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ
الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا
تَفْضِيلاً) (الاسراء:70)
”Dan sesungguhnya telah Kami
muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan,
Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka
dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan.” (QS. Al-Israa’: 70)
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menanamkan pada setiap manusia hasrat biologis (seksual)
dan Dia menjadikan untuk manusia cara yang syar’i untuk menuanaikan
atau menyalurkan hasrat seksual tersebut, dan hal ini supaya tidak
menimbulkan timbul kekacuan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
menetapkan kaidah-kaidah dan adab-adab dalam menyalurkan hasrat seksual
tersebut (jima’), dan di antara adab-adab yang harus diperhatikan
tersebut adalah sebagai berikut:
Ikhlash
Yaitu mengikhlaskan niat semata-mata
karena Allah dalam melakukan perbuatan ini, maka dia meniatkan dengan
jima’ ini untuk menjaga diri dan keluarganya (istrinya) dari hal-hal
yang diharamkan (zina), dan juga dalam rangka ikut andil dalam
memperbanyak keturunan (generasi Islam). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memotivasi umatnya untuk menikah dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menghabarkan bahwa beliau bangga dengan banyaknya jumlah beliau pada hari kiamat.
Dan anda wahai pasangan suami istri,
mendapatkan pahala atas hubungan intim yang kalian lakukan apabila
kalian meluruskan niat kalian. Dari Abi Dzar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
( وفي بُضع أحدكم صدقة ) – أي
في جماعه لأهله – فقالوا : يا رسول الله أيأتي أحدنا شهوته ويكون له فيها
أجر ؟ قال عليه الصلاة والسلام : ( أرأيتم لو وضعها في الحرام ، أكان عليه
وزر ؟ فكذلك إذا وضعها في الحلال كان له أجر ) رواه مسلم
”Dan di dalam kemaluan salah seorang di antara kalian adalah sedekah.” -Maksudnya dalam jima’nya (hubungan intim) terhadap istrinya- Maka mereka (Sahabat) berkata:”Wahai
Rasulullah! Apakah salah seorang di antara kami mendatangi keluarganya
(menunaikan syahwatnya/jima’) dan dia mendapatkan pahala?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berabda:”Bukankah
apabila dia menunaikannya (jima’) di tempat yang haram dia akan
mendapatkan dosa?” Maka demikian juga seandainya dia menunaikannya di
tempat yang halal (istrinya) maka dia akan mendapatkan pahala.”(HR. Muslim)
Maka sungguhn luar biasa keutamaan ini, kita bisa menunaikan hajat biologis kita seklaigus mendapatkan pahala.
Cumbu rayu dan pemanasan
Benar, cumbu rayu dan pemanasan adalah
salah satu adab yang hendaknya diperhatikan. Banyak sekali para suami
yang tidak memperhatikan masalah ini, yang terpenting bagi mereka
hanyalah menunaikan syahwat dan hasrat mereka saja dan mereka lupa
bahwa rayuan dan pemansan (foreplay) sebelum jima’ memiliki pengaruh
yang besar dalam membangkitkan syahwat istri dan meningkatkan
keingannya untuk berhubungan intim supaya dia (istri) benar-benar siap
untuk jima’ dan berbagi kenikmatan jima’ dengan suaminya. Adapun
apabila sang suami langsung berjima’ tanpa melakukan foreplay, bisa
jadi dia telah selesai menunaikan syahwatnya sedangkan istrinya belum
sampai pada puncak kenikmatan atau belum mendapatkannya.
Ibnu Qudamah rahimahullah:”Dianjurkan
(disunahkan) agar seorang suami mencumbu istrinya sebelum melakukan
jima’ supaya bangkit syahwat istrinya, dan dia mendapatkan kenikmatan
seperti yang dirasakan suaminya. Dan telah diriwayatkan dari ‘Umar bin
‘Abdul ‘Aziz rahimahullah bahwasanya dia
berkata:”Janganlah kamu menjima’ istrimu, kecuali dia (istrimu) telah
mendapatkan syahwat seperti yang engkau dapatkan, supaya engkau tidak
mendahului dia menyelesaikan jima’nya (maksudnya engkau mendapatkan
kenikmatan sedangkan istrimu tidak).
Dan termasuk bentuk cumbu rayu adalah berciuman, memainkan dada (payudara), dan bersentuhan kulit dengan kulit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu mencium istrinya sebelum jima’. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Jabir radhiyallahu ‘anhu ketika dia menikah dengan janda:
“فهلا بكراً تلاعبها وتلاعبك” (رواه الشيخان)، ولمسلم “تضاحكها وتضاحكك”
”Kenapa tidak gadis (yang engkau nikahi)
sehingga engkau bisa mencumbunya dan dia mencumbumu?” (HR. Biukhari
dan Muslim) dan dalam riwayat Muslim:”Engkau bisa mencandainya dan dia
mencandaimu?”
Membaca do’a yang dicontohkan sebelum melakukannya
Do’a yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebelum jima’ adalah sebagai berikut:
( بسم الله اللهم جنبنا الشيطان وجنب الشيطان ما رزقتنا )
“Bismillah (dengan nama Alah), Ya Allah
jauhkanlah kami dari syetan dan jauhkan syetan dari apa yang engkau
rizqikan kepada kami (anak).”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
( لو أن أحدهم إذا أراد أن
يأتي أهله قال: بسم الله اللهم جنبنا الشيطان، وجنب الشيطان ما رزقتنا.
فإنه إن يُقدر بينهما ولد في ذلك لم يضره شيطانٌ أبداً ) رواه البخاري
ومسلم
”Sesungguhnya apabila seseorang ingin
mengauli istrinya (jima’) mengucapkan:”(Doa di atas) Maka apabila
ditaqdirkan untuk keduanya seoarang anak dalam hubungan itu (jima’) maka
syetan tidak akan mengganggunya selama-lamanya”(HR.al-Bukhari dan
Muslim)
Gaulilah ditempat yang ditentukan
Gaulilah istri pada tempat yang
ditentukan yaitu farji (kemaluan/vaginanya), dan diperbolehkan
menggaulinya dari arah mana saja yang penting di kemaluannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
( نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ) (البقرة:223)
”Isteri-isterimu adalah (seperti)
tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat
bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki..” (QS. Al-Baqarah: 223)
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu
berkata:”Dahulu orang-orang Yahudi berkata:’Apabila seseorang menggauli
istrinya pada kemaluannya dari arah belakang maka anaknya (apabila
lahir) akan juling! Maka turunlah firman Allah:
( نساؤكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم )
”Isteri-isterimu adalah (seperti)
tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat
bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki..” (QS. Al-Baqarah: 223)
Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
( مقبلة ومدبرة إذا كان ذلك في الفرج ) رواه البخاري ومسلم .
”Dari depan maupun belakang (boleh dilakukan) apabila hal itu pada kemaluannya”(HR.al-Bukhari dan Muslim)
Adapun menggauli istri pada duburnya
maka itu adalah perbuatan yang diharamkan, tidak boleh dilakukan, dan
menyalahi fithrah manusia yang telah ditetapkan oleh Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
( من أتى حائضاً أو امرأة في دبرها أو كاهناً فصدقه بما يقول، فقد كفر بما أنزل على محمد ) رواه أبو داود
”Barang siapa menggauli (jima’)
perempuan (istrinya) haidh atau pada duburnya atau mendatangi dukun
lalu membenarkan ucapannya maka dia telah kufur terhadap apa yang
diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam”(HR. Abu Dawud)
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
( ملعون من يأتي النساء في محاشِّهن ). رواه ابن عدي و صححه الألباني في آداب الزفاف.
”Terlaknatlah orang yang menggauli wanita di duburnya”(HR. Ibnu ‘Adi rahimahullah dan dishahihkan oleh al-Albani rahimahullah dalam kitab Adabuz Zifaf)
Faedah
Posisi terbaik dalam berhubungan intim adalah laki-laki berada di atas dan perempuan di bawah, Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata dalam Zaadul Ma’ad:”Dan
posisi jima’ terbaik adalah seorang laki-laki di atas perempuan dan
menidurinya setelah melakukan cumbuan dan ciuman. Dan karena posisi
seperti inilah perempuan dinamakan kasur (bagi suaminya), sebagaimana
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:”Anak adalah
milik firasy/kasur (perempuan)” Dan ini adalah kesempurnaan
kepemimpinan laki-laki terhadap perempuian, sebagaimana firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:
(الرجال قوامون على النساء)
”Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan.”(QS. An-Nisaa’)
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
(هن لباس لكم وأنتم لباس لهن)
”Mereka (para wanita/istri) itu adalah pakaian bagi kalian, dan kalian pun adalah pakaian bagi mereka. “ (QS. Al-Baqarah:187)
Dan posisi paling buruk dalam
berhubungan intim adalah seorang wanita di atas laki-laki dan
menggaulinya lewat belakang (dengan posisi seperti itu), dan itu
menyelisihi posisi yang telah menjadi tabiat manusia yang telah Allah
tetapkan untuk laki-laki dan perempuan, bahkan untuk jenis jantan dan
perempuan. Dan dalam posisi seperti itu banyak mudharatnya,
diantaranya, mani laki-laki sulit keluar seluruhnya, dan terkadang sisa
air mani itu tertinggal dalam tubuh dan akhirnya membahayakan
kesehatannya. Dan juga rahim perempuan susah untuk menampung mani dari
laki-laki untuk diciptakan darinya bayi, pada posisi seperti itu. Dan
juga perempuan adalah obyek baik secara tabiat naupun secara syar’i,
maka apabila dia menjadi subyek (pelaku) maka maka dia telah menyalahi
kosekuensi syariat dan tabi’atnya” (ringkasan dari Zaadul Ma’ad)
Jangan disebarkan apa yang terjadi antara kalian berdua di ranjang
Kebanyakan orang mengira bahwa
menyebarkan atau menceritakan apa yang terjadi antara suami istri di
ranjang adalah sesuatu yang boleh, dan sebagian yang lain menganggap
bahwa hal itu adalah bentuk kejantanan, bahkan di antara wanita ada
yang menceritakan hal itu kepada anak-anak. Dan tidak diragukan lagi bahwa hal itu adalah sesuatu yang diharamkan dan pelakunya adalah termasuk manusia yang paling buruk. Abu Sa’id al-Khudry radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
( إن من أشرِّ الناس عند الله منزلة يوم القيامة الرجلُ يُفضي إلى امرأته وتُفضي إليه ثم ينشر سرها ) رواه مسلم .
”Sesungguhnya yang termasuk manusia
paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah seorang
laki-laki yang menggauli istrinya lalau dia menceritakan rahasianya
(jima’ tersebut)”(HR Muslim)
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata:”Dan
dalam hadits ini ada pengharaman bagi seorang laki-laki
menyebarluaskan apa yang terjadi antara dia dengan istrinya berupa
jima’, dan menceritakan secara detail hal itu dan apa yang terjadi
dengan perempuan pada kejadian itu (jima’) berupa ucapan (desahan)
maupun perbuatan dan yang lainnya. Adapun sekedar menyebutkan kata
jima’, apabila tidak ada faidah dan keperluan di dalamnya maka hal itu
makruh karena bertentangan dengan muru’ah (kehormatan diri). Dan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ.
”Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia berkata yang baik atau (kalau tidak bisa) diam.”
Adapun apabila ada keperluan atau faidah
untuk membicarakannya, seperti untuk mengingkari keengganan suami dari
istrinya, atau istri menuduh suami tidak mampu jima’ (lemah syahwat)
dll maka hal ini tidak makruh. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:”Sungguh
aku dan orang ini (istrinya) telah melakukannya” Dan beliau juga
bersabda:”Apakah engkau melakukan hubungan intim”. Wallahu A’lam.
Selesai perkataan imam Nawawi.
Dianjurkan untuk wudhu apabila ingin mengulangi jima’
Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
( إذا أتى أحدكم أهله ثم أراد أن يعود فليتوضأ ) .رواه مسلم
”Apabila salah seorang di antara kalian menggauli istrinya (jima’), lalu dia ingin mengulanginya maka berwudhulah”(HR.Muslim)
Wajib mandi junub setelahnya
Maka kapan saja terjadi pertemuan antara
dua kemaluan (walaupun tidak keluar mani), atau keluar mani maka wajib
untuk mandi junub, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
( إِذَا جَاوَزَ الْخِتَانُ الْخِتَانَ ) وفي رواية : ( مسّ الختان الختان ) فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْل ) رواه مسلم
”Apabila kemaluan (laki-laki) melewatui
kemaluan (perempuan)” dan dalam riwayat yang lain:”kemaluan menyentuh
kemaluan maka wajib mandi.”(HR.Muslim)
Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
” إنما الماء من الماء ” رواه مسلم .
”Sesungguhnya air (mandi junub) itu disebabkan karena air (keluar mani)”(HR. Muslim)
Faidah
Diperbolehkan bagi siapa yang wajib
mandi junub untuk tidur dan menunda mandinya sampai waktu dia bangun
untuk shalat shubuh atau yang lainnya.
Barang siapa yang ingin tidur (dalam
keadaaan junub) disunahkan (sunnah muakakad) untuk berwudhu sebelum
tidurnya, sebagaimana hadits ‘Umar radhiyallahu ‘anhu bahwasanya beliau bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:”Apakah boleh salah seorang di antara kami tidur dalam keadaan junub?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab:
( نعم ، ويتوضأ إن شاء ) رواه ابن حبان
”Boleh dan dia berwudhu kalau mau”(HR Ibnu Hibban)
Hindari dia ketika sedang haidh
Tidak diperbolehkan menggauli istri ketika dia sedang haidh, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
( وَيَسْأَلونَكَ عَنِ
الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذىً فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا
تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ
حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ
وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ) (البقرة:222)
”Mereka bertanya kepadamu tentang
haidh. Katakanlah:”Haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu
hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan
janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka
telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintakan
Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan
menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)
Hukuman bagi yang melakukannya
Bagi siapa yang menggauli istrinya yang
haidh diwajibkan untuk bersedekah dengan satu dinar atau setengah
dinar, sebagaimana hal itu telah pasti (ada riwayat) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika beliau menjawab pertanyaan seseorang yang bertanya tentang hal tersebut.
Faidah:
Diperbolehkan bersenang-senang dengan istri yang haidh asalkan tidak di kemaluannya, sebagaimana hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يأمر إحدانا إذا كانت حائضا أن تتزر ثم يضاجعها زوجها. متفق عليه.
”Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
menyuruh salah seorang di antara kami (kaum wanita), apabila kami haidh
untuk memakai sarung lalu suaminya menggaulinya.” (Mutaffaq ‘alaihi)
Perhatikan kondisi kejiwaan pasangan anda
Lihatlah kondisi dan kejiwaan pasangan
anda, mungkin saja dia lagi kurang berminat untuk berhubungan intim
karena sakit, capek atau yang lainnya.
Lihatlah kondisi fisik pasangan
Perhatikanlah kondisi pasangan, kadang
kala dia merasa lelah dengan banyaknya jima’ demikian halnya juga
kadang suami lelah karena hal itu. Maka wajib bagi masing-masing
pasangan untuk memahami dan memperhatikan hal ini dan bersikaplah
qona’ah (merasa puas) dengan yang ada.
Jangan egois
Wajib bagi seoarang suami untuk
memuaskan hasrat istrinya, dan janganlah dia meyudahi kegiatan hubungan
intim tersebut sebelum istrinya mendapatkan kepuasan.
Jangan mengkhayalkan orang lain
Tidak boleh seorang suami mengkhayalkan
perempuan lain ketika sedang berjima’ bersama istrinya, demikian juga
tidak boleh bagi istri untuk berbuat demikian.
’Azl diperbolehkan dengan ridha pasangannya
Pendapat ini dipilih oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, mungkin dalil yang dipakai oleh beliau adalah hadits Jabir radhiyallahu’anhuma, bahwasanay beliau berkata:
كنا نعزل على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم فبلغ ذلك رسول الله صلى الله عليه وسلم فلم ينهنا . رواه البخاري ومسلم .
”Dahulu kami melakukan ‘Azl pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu hal tersebut sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau tidak melarangnya.”(HR. al-Bukhari dan Muslim)
Makna ‘Azl adalah seorang laki-laki
mencabut kemaluannya dari kemaluan istrinya (ketika hubungan intim)
sebelum dia mengeluarkan air mani, lalu dia mengeluarkan maninya di
luar.
Menjauh dari anak ketika berhubungan intim
Dalam kondisi adanya anak maka yang
termasuk adab jima’ adalah menjauh dari mereka, dan menghindari
perkataan-perkataan yang yang berbau asmara dihadapan mereka, dan tidak
dikecualikan dari hal ini, kecuali yang belum paham dengan masalah ini
yaitu anak kecil sampai batas maksimal 3 tahun. Dan telah diriwayatkan
dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma apabila beliau ingin berjima’ beliau mengeluarkan anak yang masih menyusu (dari tempat itu)
(Sumber: Diterjemahkan dengan sedikit perubahan dari آداب الجماع dari http://www.zawjan.com/art-418.htm oleh Abu Yusuf Sujono dan dipublikasikan oleh www.abu-maryamhaazimah.blogspot.com dari www.Salafiyunpad.wordpress.com dari alsofwah.or.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar