PENDAHULUAN
Benarkah tasawuf merupakan ajaran Nabi shallallâhu
'alaihi wa sallam dan sudah muncul semenjak zaman Nabi shallallâhu
'alaihi wa sallam? Atau benarkah merupakan amaliyah para Sahabat
radhiyallâhu 'anhum dan sudah muncul semenjak zaman mereka?
Jika memang demikian, tentu ada riwayatnya dan sudah
tercatat dalam sejarah. Tentu pula istilah tasawuf dan sufi (menurut
lidah dan ejaan bahasa Indonesia), atau tashawwuf dan shûfiy (menurut ejaan dan lidah bahasa Arab) tidak akan diperdebatkan oleh Ulama tentang akar kata kalimat tersebut.
Pada kenyataannya, tidak ada satupun riwayat shahîh
yang menerangkan kalimat tersebut. Bahkan riwayat dha’îf pun tentang
kalimat itu sulit dicari. Bahkan ditinjau dari sisi bahasa Arab pun,
para Ulama berselisih pendapat tentang asal mula kata tersebut. Maka ini
tentu menunjukkan bahwa kata sufi dan tasawuf tidak memiliki akar kata
yang jelas dalam bahasa Arab.
(Makalah ini merupakan ringkasan dari Kitab Nasy’atu
Bida’i ash-Shufiyah, Dr. Fahd bin Sulaiman al-Fuhaid, yang pernah
dikaji di Daurah Syar’iyyah II di Bogor, tanggal 22-28 Syawal 1433
H/9-15 September 2012 M, dibawakan oleh Syaikh Dr. Musa al-Nashr dari
Yordania. Makalah ini sendiri mengambil sub judul Marahil Bida’i
at-Tashawwuf, hlm. 19-24. Diringkas oleh Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin)
TAHAP-TAHAP MUNCULNYA TASHAWUF DAN SHUFI
Tahap Pertama
Menurut para peneliti sejarah, benih-benih ajaran sufi (atau shûfiy)
mulai muncul pada zaman Tâbi’în, tanpa nama dan istilah-istilah khusus.
Dilakukan oleh sebagian ahli ibadah yang pernah berjumpa dengan
sebagian Sahabat Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam. Waktu itu mereka
dikenal sebagai Nussâk (ahli ibadah), zuhhâd
(orang-orang zuhud), orang-orang yang gampang menangis, orang-orang
alim, ahli taubat dan sebutan lain yang senada. Intinya orang-orang yang
dikenal bersifat ahli ibadah, ahli zuhud dan memutuskan diri dari
urusan duniawi, khususnya ahli ibadah di Irak, Kufah dan Bashrah. Pada
diri orang-orang tersebut terlihat tanda-tanda sikap berlebihan dalam
mengekang diri dan dalam menambah-nambahkan apa yang tidak ada pada para
Sahabat Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam.
Dr. Fahd bin Sulaiman al-Fuhaid, penyusun Kitab
Nasy’atu Bida’i ash-Shufiyah, menukil dialog antara Bard, seorang bekas
budak Sa’id bin al- Musayyib rahimahullâh, dengan bekas majikannya (Sa’id bin al-Musayyib rahimahullâh), dari Kitab Thabaqat Ibni Sa’d V/135.
Bard berkata kepada Sa’id rahimahullâh, “Aku lihat betapa bagus apa yang mereka perbuat.”
Sa’id rahimahullâh bertanya, “Apa yang mereka perbuat?”
Bard menjawab, “Aku lihat seseorang di antara mereka
shalat Zhuhur, kemudian ia terus membariskan kedua kakinya sambil
shalat hingga datang waktu Ashar.”
Sa’id rahimahullâh berkata, “Aduhai celaka
engkau hai Bard, ketahuilah demi Allâh Ta'âla! Hal yang demikian itu
bukanlah ibadah! Sesungguhnya ibadah itu tidak lain adalah menghayati
dan menjalankan perintah Allâh Ta'âla serta menahan diri untuk tidak
melanggar apa-apa yang diharamkan Allâh Ta'âla.”
Itulah kemunculan tahap awal bagi tasawuf. Dan pada
tahap ini, belum ada bid’ah dalam arti teoritis dan belum ada perdebatan
ilmiyah tentang mereka. Demikian pula, belum ada lambang-lambang atau
istilah-istilah tertentu bagi mereka. Merekapun tidak membuat istilah
atau bahasa-bahasa khusus bagi dirinya. Lebih penting lagi, mereka pada
saat itu belum menggunakan nama tertentu. (Yang ada waktu itu adalah
sikap berlebihan dalam mengekang diri dan dalam menambah-nambahkan apa
yang tidak ada pada para Shahabat Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas-pen.)
Tahap Kedua: Tersebarnya Sebutan Tasawuf dan Sufi
Terdapat perbedaan pendapat tentang kapan dan siapa
yang pertama-tama mencetuskan nama sufi atau menamakan diri sebagai
sufi. Ada yang mengatakan bahwa orang yang pertama kali dikenal sebagai
sufi adalah Abu Hâsyim al-Kûfi, wafat di Syâm setelah pindah dari Kûfah
pada tahun 150 H atau 162 H.
Sebagian ahli sejarah yang lain menyebutkan bahwa
Abdak, singkatan dari Abdul Karim, (wafat 210 H) adalah yang
pertama-tama menyebut diri sebagai sufi. Dr. Fahd kemudian menukil
pernyataan seorang Ulama Syâfi’iyah bernama Muhammad bin Ahmad al-Malthi
as-Syâfi’i yang menyebutkan dalam kitabnya, at-Tanbîh wa ar-Raddu ‘ala
Ahli al-Ahwâ’ wa al-Bida’, bahwa Abdak adalah pemimpin salah satu firqah
di antara firqah-firqah zindiq.
Muhammad al-Malthi selanjutnya menyebutkan dalam
kitabnya itu bahwa di antara ciri firqah ini adalah mengharamkan semua
apa yang ada di dunia kecuali makanan pokok. Dunia semuanya tidak halal
kecuali jika dengan kepemimpinan seorang Imam yang adil. Bila tidak ada
imam yang adil, maka dunia itu semuanya haram, begitu juga bermu’amalah
dengan penghuninyapun haram. Nama dari golongan ini adalah
al-’Abdakiyah, sebab Abdaklah yang telah meletakkan asas ajaran ini bagi
mereka, dialah yang mengajak mereka untuk mengikuti ajaran ini dan
memerintahkan untuk mempercayainya.
Sementara Ibnu an-Nadim, dalam kitabnya, al-Fahras
menyebutkan bahwa Jâbir bin Hayyan, seorang murid Ja’far ash-Shadiq,
wafat tahun 208 H, itulah yang pertama kali menamakan diri sebagai sufi,
sedangkan ia adalah seorang penganut Syî’ah.[1]
Karena perselisihan pendapat tentang kapan atau
siapa yang pertama-tama menamakan diri sebagai sufi, maka sebagian
peneliti cenderung berpendapat bahwa tasawuf adalah ajaran asing yang
menyusup kedalam Islam. Dibentuk oleh kaum zindik dan kaum Rafidhah
(Syî’ah) yang terkenal sebagai golongan yang selalu membuat tipu daya
terhadap kaum Muslimin semenjak zaman dahulu.
Intinya, kemunculan tasawuf dan sufi pada tahap kedua memiliki ciri menonjol berupa:
- Munculnya berbagai keadaan yang mengherankan dan berbagai perilaku yang aneh dari orang-orang yang dikenal ahli ibadah dan ahli zuhud, jauh lebih banyak dari generasi sebelumnya.
- Munculnya sebutan tasawuf dan sufi. Ini merupakan permulaan bagi
tersebarnya nama-nama tersebut secara meluas dikemudian hari serta
istilah-istilah lain yang membarenginya. Misalnya istilah hub (cinta) dan fana’. Ini terjadi pada permulaan abad kedua Hijriyah. Yaitu kira-kira pada saat munculnya Abu Hâsyim as-Sufi dan yang semisalnya.
Kemudian, pada tahap ini, di antara hal yang dikisahkan tentang mereka ialah adanya sebagian orang yang membangun tempat ibadah khusus yang terasing dari orang lain. Ada pula yang melakukan peribadatan di goa-goa, atau melakukan peribadatan dengan menjalankan laku di padang-padang pasir luas, serta kisah-kisah lain yang menunjukkan gemarnya sebagian mereka berperilaku berlebih-lebihan. Sementara sebagian perilaku menunjukkan kebodohan serta kurangnya akal. - Munculnya ungkapan, sebutan serta istilah-istilah yang jelas-jelas salah, berkenaan dengan masalah tawakal ataupun masalah lain, sehingga karenanya mereka melakukan penyimpangan terhadap syariat. Misalnya istilah ilmu (yang memiliki konotasi lain menurut mereka), tarekat dan lain-lainnya.
Ini semua menunjukkan adanya permulaan sikap fanatisme golongan dan perpecahan.
Tahap Ketiga
Tahap ini merupakan kepanjangan tahap sebelumnya.
Terjadi sesudah penghabisan abad kedua Hijriyah atau sesudahnya. Pada
tahap ini muncul sesuatu yang berbeda secara nyata dibandingkan dengan
tahap sebelumnya.
Muncul pula istilah-istilah yang maknanya kabur dan
memungkinkan untuk ditafsirkan dengan banyak maksud. Sehingga ada
sebagian di antara mereka yang, karena husnu zhan, membawanya
pada makna yang sejalan dengan ajaran Islam. Tetapi banyak di antaranya
yang memahaminya dengan makna yang memicu permulaan bagi lahirnya
pembuatan bid’ah. Bahkan bagi lahirnya sikap zindîq dan kufur. Sebab
istilah-istilah tersebut mirip dengan istilah-istilah aliran bathiniyah.
Di antara istilah-istilah tersebut ialah; al-wihdah (mengandung makna wihdatul wujûd, manunggaling kawula lan gusti, yaitu menyatunya hamba dengan Tuhan), al-fana (leburnya seseorang kedalam rubûbiyah Allâh Ta'âla/ketuhanan), al-ittihâd (menyatunya manusia dengan Tuhan), al-hulûl (menjelma/ menempatnya Tuhan pada makhluk), as-sukru (hilangnya kesadaran diri karena Tuhan menyatu dengan dirinya), al-kasyf (mampu mengetahui secara gaib apa yang tidak diketahui orang biasa), al-murîd (murid yang harus taat mutlak kepada Syaikh tarekatnya), al-’ârif (orang yang sudah sampai pada peringkat ma’rifat, di atas syariat), al-hal (kondisi aneh dengan perilaku tertentu atau kemampuan tertentu) dan istilah-istilah lainnya.
Masuk dalam golongan tahap ini; para murid al-Hârits
al-Muhasibi dan orang-orang sesudahnya, juga al-Junaid serta gurunya,
yaitu as-Sariy as-Saqthiy, dan guru as-Sariy, yaitu Ma’rûf al-Karkhi.
Juga Dzu an-Nun al-Mishriy, Abu Sa’id al-Kharaz dan lainnya.
Sebagian perilaku aneh dan tidak masuk akal yang
dilakukan sebagian mereka pada tahap ini misalnya, adalah apa yang
dilakukan oleh seseorang yang bernama Ahmad an-Nawawi (wafat 295 H). Ia
naik ke atas suatu jembatan, lalu karena kesufiannya, ia membuang 300
dinar uang hasil penjualan rumahnya ke dalam air satu persatu hingga
habis, seraya berkata kepada Allâh Ta'âla , “Ya Allâh Ta'âla yang ku
cintai! Engkau ingin menipu aku dengan uang dari-Mu seperti ini?”[2]
Oleh sebab itu, beberapa peneliti sejarah
mengatakan, bahwa aliran tasawuf mencapai tingkat kematangannya pada
abad ketiga Hijriyah. Dari sini dapat dikatakan bahwa tasawuf yang
sebenarnya baru muncul pada abad ketiga Hijriyah ini.[3]
Pada tahap ini pula, dengan melihat istilah-istilah
sufi yang makin berkembang, dapat diketahui seberapa jauh pengaruh
sumber-sumber ajaran asing terhadap ajaran sufi, baik dalam hal
kata-kata, perbuatan dan perilaku ibadah mereka.
Kemudian pengaruh yang membawa perubahan ini
membuktikan lahirnya permulaan gagasan baru bagi kalangan sufi dan
istilah-istilah khusus yang lebih baru lagi. Misalnya perhatian besar
mereka terhadap kebiasaan ‘isyq (yaitu cinta kasih yang terwarnai oleh syahwat, umpamanya kepada anak-anak muda usia tanggung), mahabbah, hiyam (hilangnya akal karena saking cinta), dzuhul (linglung karena saking cinta) dan lain-lainnya.
Lebih parah dari itu semua adalah bahwa ibadah
akhirnya bukan lagi menjadi tujuan tertinggi. Tetapi ibadah hanyalah
sebagai pendahuluan bagi tujuan yang lebih tinggi lagi, yaitu
terwujudnya wihdatul wujûd (menyatunya makhluk dengan Tuhan), serta hulûl (bahwa Allâh Ta'âla menjelma dan menempat pada diri makhluk).
Perlu dijelaskan pula di sini bahwa pada tahap
ketiga ini, mulai lahir sikap fanatisme golongan yang dilarang dalam
syarî’at, dan sikap ta’ashub (fanatik) kepada syaikh-syaikh
sufi. Ini merupakan pangkal dari lahirnya tarekat-tarekat sufi. Karena
itu, menjadi jelas sekali pada tahap ini, bahwa masing-masing kelompok
sufi sangat fanatik terhadap syaikh tarekatnya. Masing-masing syaikh
memiliki tarekatnya sendiri, baik dalam masalah adab, manhaj maupun
dzikir. Masing-masing Syaikh memiliki kekuasaan terhadap murîd-murîd
(pengikut-pengikut) nya.
Tahap Keempat
Yaitu tahap tasawuf hulûliy ittihâdiy.
Tahap lahirnya pernyataan sebagian sufi akan manunggaling kawula lan
gusti, yaitu menyatunya hamba dengan Tuhan. Secara terbuka dan
terang-terangan sebagian mereka menegaskan kalimat kufur dan sesat ini.
Di antara tokohnya adalah al-Hallâj, yaitu Husain
bin Manshûr al-Hallâj yang dihukum bunuh karena dinyatakan murtad pada
tahun 309 H. Dialah tokoh paling masyhur yang menyatakan prinsip
menyatunya makhluk dengan Tuhan, dan bahwa Allâh Ta'âla berada serta
menyatu pada setiap makhluk-Nya. Lahirlah dari orang ini berbagai bentuk
kekufuran besar. Disusul kemudian oleh tokoh-tokoh sesudahnya yang
meneruskan jejaknya dalam kekafiran ini.
Inilah akhir dari perjalanan tasawuf.
Istilah-istilah yang maknanya sebelumnya kabur menjadi semakin jelas,
yaitu bahwa ujung-ujungnya bermuara pada maksud terwujudnya wihdatul wujûd. Bahwa Tuhan dan makhluk adalah satu. (Inilah kekufuran yang lebih dahsyat daripada kekufuran kaum Nasrani-pent.)[4]
Pada tahap ini muncul quthub-quthub
(pemimpin-pemimpin) sufi. Lahirlah secara nyata aliran-aliran tarekat
sufi. Pada tahap ini pula, filsafat Yunani banyak menyusup ke kalangan
mereka disebabkan terbukanya penerjemahan buku-buku Yunani secara luas.
Juga tersebarnya ajaran-ajaran bathiniyah.
Abbâs al-’Azawi, seorang sejarawan Irak (wafat 1391
H) menyebutkan, bahwa para ahli tasawuf yang ekstrim sangat giat dalam
aktifitasnya pada akhir abad ketiga Hijriyah. Mereka sangat aktif
menekuni madzhab al-Hallâj, di samping juga terpengaruh oleh filsafat
plato di satu sisi, dan filsafat Hindu di sisi yang lain.
Begitulah seterusnya hingga pada pertengahan abad
keenam Hijriyah mereka terus memanfaatkan kesempatan untuk mendakwahkan
pemahamannya.[5]
Demikianlah secara garis besar tahap-tahap
kemunculan tasawuf dan sufi. Awalnya pada zaman Tâbi’în, hanya merupakan
kegiatan tanpa sebutan dan nama. Kemudian tahap kedua, pada awal abad
kedua Hijriyah, mulailah muncul istilah sufi dan beberapa istilah baru
yang tidak dikenal pada zaman Sahabat radhiyallâhu 'anhum.
Disusul tahap ketiga yang dimulai pada akhir abad kedua Hijriyah atau
awal abad ketiga Hijriyah. Pada tahap ini tasawuf mencapai
kematangannya. Bahkan dikatakan bahwa tasawuf yang sesungguhnya muncul
pada abad ketiga ini. Selanjutnya tahap keempat di akhir abad ketiga
Hijriyah, tasawuf sampai pada tujuan akhirnya, yaitu wihdatul wujâd dan hulûl (bahwa makhluk menyatu dengan Tuhan, dan Tuhan berada pada setiap makhlukNya) dan ini tentu merupakan kekufuran. Nas’alullâha minal kufri wa adh-dhalâlati.
(Sumber: Majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XVI).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar