"Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang
yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata): 'Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini
dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa
neraka.'" (Ali 'Imran: 191).
"Katakanlah, 'Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi.
tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi
peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman.'" (Yunus: 101).
"Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara
keduanya tanpa hikmah. yang demikian itu adalah anggapan orang-orang
kafir, Maka celakalah orang-orang kafir itu Karena mereka akan masuk
neraka." (Shaad: 27).
Diriwayatkan dari Fudhalah bin Ubaid Radiyallaahu 'anhu, dari Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda: "Tiga
jenis orang yang tidak perlu engkau tanyakan lagi nasibnya; orang yang
memisahkan diri dari jama'ah, ia mendurhakai imam dan mati dalam
keadaan durhaka. Budak wanita atau pria yang melarikan diri dari
tuannya, lalu mati. Dan seorang wanita yang ditinggal oleh suaminya
dengan memberi perbekalan yang cukup, lalu sepeninggal suaminya ia
bersolek (untuk lelaki lain)." Tiga jenis orang yang tidak perlu engkau
tanyakan lagi nasibnya; Orang yang merampas selendang Allah,
sesungguhnya selendang Allah adalah kesombongan-Nya, sarung-Nya adalah
kemuliaan. Orang yang ragu tentang Allah. Dan orang yang berputus asa
terhadap rahmat Allah." (Shahih, HR Bukhari dalam al-Adabul Mufrad
[590], Ahmad [IV/19], Ibnu Hibban [4559], Ibnu Abi 'Ashim dalam
as-Sunnah [89], dan al-Bazzar [84]).
Diriwayatkan dari Aisyah Radiyallaahu 'anha. bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya
syaithan mendatangi salah seorang dari kamu, lalu mengatakan, 'Siapakah
yang telah menciptakanmu?' 'Allah!' jawabnya. Lalu syaithan bertanya
lagi: 'Lalu siapakah yang menciptakan Allah?' Jika kalian menghadapi
hal seperti ini, maka hendaklah ia mengucapkan, 'Aku beriman kepada
Allah dan Rasul-rasul-Nya.' Sesungguhnya, ucapan itu dapat
menghilangkan waswas syaithan itu." (Shahih, HR Ahmad [VI/258] dan Ibnu Hibban dalam al-Mawarid [41].
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radiyallaahu 'anhu, dari Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda, "Sesungguhnya syaithan mendatangi salah seorang dari kamu, lalu berkata, 'Siapakah yang telah menciptakan ini? Siapakah yang telah menciptakan itu?' Hingga syaithan berkata kepadanya: 'Siapakah yang menciptakan Rabb-mu?' Jika sudah sampai demikian, maka hendaklah ia berlindung kepada Allah dengan mengucapkan isti'adzah dan berhenti." (HR Bukhari [3276] dan Muslim [134]).
Dari jalur lain diriwayatkan dengan lafadzh. "Hampir tiba
masanya orang-orang saling bertanya sesama mereka. Sehingga ada yang
bertanya, 'Allah telah menciptakan ini dan itu, lalu siapakah yang
menciptakan Allah?' Jika mereka mengatakan seperti itu, maka
bacakanlah, 'Katakanlah: 'Dialah Allah, Yang Maha Esa.' Allah adalah Ilah yang bergantung kepada-Nya segala urusan. Dia tidak beranak dan
tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan
Dia.' (Al-Ikhlas: 1-4). Kemudian, hendaklah ia meludah ke kiri sebanyak
tiga kali, lalu berlindung kepada Allah dari gangguan syaithan dengan
mengucapkan isti'adzah." (HR Abu Dawud [4732], An-Nasa'i dalam
'Amalul Yaum wal Lailah [460], Abu Awanah [I/81-82], Ibnu Abdil Barr
dalam at-Tamhiid [VII/146]).
Diriwayatkan dari Anas bin Malik Radiyallaahu 'anhu, ia berkata, "Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Allah Subhaanahu wa ta'aala berfirman, 'Sesungguhnya ummatku akan
terus-menerus bertanya apa ini, apa itu?' Hingga mereka bertanya,
'Allah telah menciptakan ini dan itu lalu siapakah yang menciptakan
Allah'" (HR Muslim [136]).
Dalam riwayat lain ditambahkan, "Pada saat seperti itu mereka tersesat." (Shahih, HR Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah [647]).
Kandungan Bab:
- Allah Subhaanahu wa ta'aala telah menganjurkan dalam Kitab-Nya agar berfikir dan bertadabbur. Anjuran ini ada dua macam.
Pertama, anjuran mentadabburi ayat-ayat Al-Qur'an dan ayat-ayat-Nya yang dapat disimak. Agar seorang hamba dapat memahami maksud Allah swt dan dapat meyakini kehebatan atau Al-Qur'an sebagai Kalamullah dan mukjizat yang tidak ada kebathilan di dalamnya, dari depan maupun dari belakang. Sebagaimana yang Allah Subhaanahu wa ta'aala firmankan, "Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur-an? kalau kiranya al-Qur-an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya." (An-Nisaa': 82).
"Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur'an ataukah hati mereka terkunci?" (Muhammad: 24).
Kedua, anjuran memikirkan keagungan ciptaan Allah, kerajaan dan kekuasaan-Nya, serta ayat-ayat yang dapat disaksikan, agar seorang hamba dapat merasakan keagungan al-Khaliq, dapat mengakui Al-Qur'an. Sebagaimana yang Allah Subhaanahu wa ta'aala firmankan, "Katakanlah, 'Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi.'" (Yunus: 101).
"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelas bagi mereka, bahwa Al-Qur'an itu benar. Dan apakah Rabbmu tidak cukup (bagi kamu), bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu." (Fushshilat: 53).
- Memikirkan
tanda-tanda kebesaran Allah 'Azza wa Jalla yang dapat disaksikan dan mentadabburi
ayat-ayat Allah yang dapat disimak tidaklah dibatasi dengan keadaan
atau waktu tertentu seperti yang dibuat-buat oleh kaum sufi atau ahli
kalam, dengan menggunakan istilah renungan pemikiran dan lainnya,
dalilnya adalah firman Allah Subhaanahu wa ta'aala, "(Yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring
dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata), 'Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan
sia-sia, Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (Ali 'Imran: 191).
- Dzat Allah tidak akan bisa terjangkau oleh akal pikiran dan tidak akan bisa dikira-kirakan. Allah Subhaanahu wa ta'aala berfirman, "Sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya." (Thaahaa: 110). Karena Dzat Allah Maha Agung dan Maha Tinggi dari kandungan permisalan dan qiyas. "Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang penglihatan itu." (Al-An'aam: 103).
Dan bagi al-Khaliq, tidak ada penyerupaan, tandingan dan juga permisalan, "Dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia." (Al-Ikhlash: 4). Oleh sebab itulah melalui lisan Rasul-Nya, Allah Yang Mahabijaksana melarang berfikir tentang Dzat-Nya Yang Mahasuci.
- Berfikir tentang Dzat Allah
akan menggiring pelakunya kepada keragu-raguan tentang Allah. Dan siapa
saja yang ragu tentang Allah, pasti binasa. Sebab ia akan dicecar oleh
pertanyaan-pertanyaan membingungkan yang lahir dari permikiran sesat,
"Allah menciptakan ini dan itu lalu siapakah yang menciptakan Allah?"
Pertanyaan itu pada hakikatnya sangat kontradiktif dan kabur maksudnya.
Sebab Allah adalah Pencipta bukan makhluk! Allah Subhaanahu wa ta'aala berfirman, "Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan." (Al-Ikhlash: 3).
- Penyatuan dan perkara yang saling kontradiktif adalah sebuah
kekeliruan, bahkan sebuah kemustahilan dan ketidak mungkinan. Karena
kesamaran itulah, syaithan menerobos masuk ke dalam hati manusia
sehingga mereka ragu tentang Allah. Pertanyaan itu pada hakikatnya
menyamakan Allah (al-Khaliq) dengan makhluk. Tanpa ragu lagi. Makhluk
pasti ada yang menciptakannya. Akan tetapi pertanyaan tidak berhenti
sampai di situ, bahkan dilanjutkan dengan pertanyaan tentang siapa yang
menciptakan Pencipta. Maka, jatuhlah ia dalam penyerupaan al-Khaliq
dengan makhluk, wal 'iyaadzubillaah.
- Pengobatan untuk waswas
Iblis dan pemikiran-pemikiran syaithan ini, yaitu mengikuti tata cara
Al-Qur'an dan As-Sunnah yang dijelaskan oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam :
- Membaca surat Al-Ikhlash.
- Meludah ke kiri sebanyak tiga kali.
- Berlindung kepada Allah swt dari gangguan syaitan yang terkutuk dengan membaca isti'adzah.
- Mengatakan, "Aku beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya.:
- Memutus waswas dan menghentikan keraguannya.
- Bimbingan
Nabawi tadi merupakan cara yang paling mujarab untuk mengobati penyakit
waswas dan lebih ampuh untuk memutusnya daripada cara jidal
(perdebatan) logika yang sempit yang pada umumnya malah membuat orang
bingung. Hendaklah orang yang waras akalnya memperhatikan benar sabda
Nabi, "Sesungguhnya hal itu dapat menghilangkannya."
Jadi, siapa saja yang melakukannya semata-mata ikhlas karena Allah dan ketaatan kepada Rasul-Nya, maka syaithan pasti lari.
- Kaum Salafush Shalih menerapkan metodologi Al-Qur'an dalam memutus waswas ini.
Diriwayatkan dari Abu Zumail, ia berkata, "Aku bertanya kepada Ibnu
Abbas Rodiyallaahu 'anhu, kukatakan padanya, 'Ada suatu perkara yang terlintas dalam
hatiku.'" "Apa itu?" tanya beliau. "Demi Allah, aku tidak ingin
membicarakannya!" jawabku pula. Beliau berkata, "Adakah itu sesuatu
yang membuatmu ragu?" Beliau tersenyum, lalu berkata, "Tidak ada
seorang pun yang terhindar dari hal itu. Namun Allah Subhaanahu wa ta'aala telah
menurunkan firman-Nya, "Maka,
jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami
turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca
al-Kitab sebelum kamu." (Yunus: 94) Lalu ia berkata kepadaku, "Jika
engkau merasakan sesuatu yang meragukan di dalam hati, maka katakanlah,
'Dia-lah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia
Maha Mengetahui segala sesuatu.'" (Al-Hadiid: 3). (Shahih, HR Abu Daud [5110]).
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 91-98.
Berpikirlah Tentang Ciptaan Allah dan Janganlah Berpikir Tentang Allah
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam Bersabda :
“Berpikirlah kalian tentang ciptaan Allah dan jangan sekali-kali berpikir tentang Allah, sebab memikirkan tentang Ar Rabb (Allah) akan menggoreskan keraguan dalam hati“.
Berkata Al Imam Al Barbahari Rahimahullahu Ta’aala:
والفكرة في الله بدعة لقول رسول الله صلى الله عليه وسلم تفكروا في الخلق ولا تفكروا في الله فإن الفكرة في الرب تقدح الشك في القلب
Dan memikirkan tentang Allah Azza wajalla adalah bid’ah berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam,
Syaikh 'Allamah Ahmad bin Yahya An Najmi
Ucapan
beliau (Al Imam Al Barbahari Rahimahullah) ini, yakni hadits ini,
dikatakan oleh Mu’aliq (yakni Al Qahthani) dikeluarkan oleh Abu Syaikh,
dan hadits ini adalah hadits dha’if. Hal ini disebutkan oleh Syaikh Al
Albani Rahimahullah dalam kitab Dho’iful Jami’ no. 2480 akan tetapi
beliau shahihkan dalam kitab Shahihul Jami’ (3/49) dan beliau
menyebutkan bahwa hadits ini Hasan. Lihatlah kitab Silsilah Al hadits As
Shahihah (4/395). Aku katakan (Al Qahthani), “Penshahihan hadits ini perlu diteliti kembali, bisa jadi ini adalah ucapan sebagian ulama salaf“.
Aku
(Syaikh Ahmad An Najmi) katakan: Berpikir tentang Allah Azza wajalla,
yakni memikirkan dzat Allah Azza wajalla tidak selayaknya untuk
dilakukan. Sebab apabila seorang hamba itu berpikir, maka dia berpikir
dengan apa yang tergambar oleh akalnya dan apa yang terbetik dalam
benaknya dari hal-hal yang terlihat, terdengar, dan diketahui. Sedangkan
Allah 'Azza wajalla berada di atas itu semua. Tidak layak bagi seorang
pun untuk memikirkan dzat Allah 'Azza wajalla, sebab tatkala ia
menggambarkan sesuatu tentang dri Allah 'Azza wajalla maka Allah 'Azza
wajalla berbeda dengan apa yang ia gambarkan dan cukup bagi kita
berpikir tentang makhluk-makhluk-Nya, dan tentang kekuasaan-Nya yang
luar biasa.
Kalau
seandainya seseorang itu mau memikirkan tentang asal kejadiannya
sendiri niscaya hal itu telah cukup baginya. Hendaknya dia memikirkan
bagaimana Allah 'Azza wajalla mengubah air mani, yang darinya Allah 'Azza
wajalla menciptakan makhluk yang agung ini, dan bagaimana Allah 'Azza
wajalla mengubah air mani yang darinya Allah 'Azza wajalla menciptakan
berbagai jenis hewan dan bagaimana Allah 'Azza wajalla mempersiapkan
segala sesuatu dari makhluk-makhluk ini untuk tujuan tertentu. Allah 'Azza wajalla mempersiapkan sapi untuk mengolah tanah pertanian dan Allah
'Azza wajalla mempersiapkan unta untuk kendaraan dan yang lainnya dari
hal-hal yang kita saksikan dan kita ketahui. Yang Kuasa mengubah air
mani tersebut, dari air mani menjadi manusia dan menjadi hewan, bukankah
yang mampu melaksanakan hal itu adalah Ar Rabb Yang Maha Kuasa atas
segala sesuatu?! Tentu, dan kita termasuk orang-orang yang menyaksikan
akan hal itu.
Yang
jelas, bahwasanya berpikir itu selayaknya diarahkan kepada ciptaan
Allah 'Azza wajalla bukan pada dzat Allah 'Azza wajalla. hendaknya kita
membaca firman Allah,
فَاطِرُ
السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا
وَمِنَ الأنْعَامِ أَزْوَاجًا يَذْرَؤُكُمْ فِيهِ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“(Dia)
Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu
sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak
pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan
jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah
Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy Syuuraa: 11)
Wajib
bagi kita untuk berserah diri menerima ayat ini, sehingga akal kita
tidak meraba-raba sesuatu yang tidak layak untuk dipikirkan. Apabila
Surga saja di dalamnya terdapat kenikmatan yang belum pernah dilihat
oleh mata, belum pernah terdengar oleh telinga, dan belum pernah
terbetik dalam hati seseorang padahal itu adalah makhluk Allah 'Azza
wajalla, lantas bagaimana dzat Allah?! Wabillahit taufiq.
sumber: qurandansunnah.wp
disunting ulang -Abu Maryam Haazimah-
siip
BalasHapusMaaf, boleh diperjelas gk?
BalasHapusYang bagian "Berfikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berfikir tentang Dzat Allah." (Hasan, Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah [1788])itu sebenernya hadis riwayat siapa?
Makasih