Al Qurraa’ As Sab’ah ( tujuh ahli qira’at ) yang terkenal, yang
disebutkan oleh Abu Bakr bin Mujahid rahimahullah, dan dikhususkan
penyebutan dikarenakan mereka – menurut Abu Bakr bin Mujahid - terkenal
dengan ketelitian, amanah, dan lamanya mereka dalam menggeluti ilmu
Qira’at, dan kesepakatan pendapat para ulama untuk mengambil Qira’at
dari mereka.
Mereka itu adalah sebagai berikut :
Pertama : Abu ‘Amr bin Al ‘Alaa’, gurunya para perawi.
Dia
adalah Ziyad bin Al ‘Alaa’ bin ‘Ammar Al Mazini Al Bashri
rahimahullah. Ada yang mengatakan bahwa namanya adalah Yahya, ada lagi
yang mengatakan bahwa namannya adalah kunyahnya. Dia wafat di Kufah pada
tahun 154 H.
Dan dua orang yang meriwayatkan qira’at
darinya adalah : Ad Duuriyy dan As Suusiyy. Adapun Ad Duuriyy dia
adalah Abu ‘Umar Hafsh bin ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz Ad Duuriyy An Nahwi
rahimahullah. Ad Duur adalah nama sebuah tempat di Baghdad. Dia wafat
pada tahun 246 H. Sedangkan As Suusiyy adalah Abu Syu’aib Shalih bin
Ziyad bin ‘Abdillah As Suusiyy rahimahullah, wafat tahun 261 H.
Kedua : Ibnu Katsir (bukan Ibnu Katsir ahli tafsir).
Beliau adalah ‘Abdullah bin Katsir Al Makkiy, salah seorang tabi’in, dan wafat di Makkah tahun 120 H.
Dua
orang yang meriwayatkan qira’at darinya adalah : Al Bazziy dan Qunbul.
Adapun Al Bazziyy dia adalah Ahmad bin Muhammad bin ‘Abdillah bin Abi
Bazzah Al Muadzin Al Makkiy rahimahullah, dan memiliki nama kunyah Abul
Hasan, wafat di Makkah tahun 250 H. Adapun Qunbul dia adalah Muhammad
bin ‘Abdirrahman bin Muhammad bin Khalid bin Sa’id Al Makkiy Al
Makhzumi rahimahullah, dan memiliki nama kunyah Abu ‘Amr, dan dijuluki
Qunbul. Ada yang mengatakan : ”Mereka adalah Ahlul Bait di Makkah yang
dikenal dengan Al Qanabilah.” Beliau wafat di Makkah tahun 291 H.
Ketiga : Nafi’ Al Madaniy
rahimahullah. Beliau adalah Abu Ruwaim Nafi’ bin ‘Abdirrhaman bin Abi
Nu’aim Al Laitsiy, berasal dari Ashfahan, dan wafat di Madinah tahun
169 H.
Dua orang yang meriwayatkan qira’at darinya adalah :
Qaaluun dan Warasy. Adapun Qaaluun dia adalah ‘Isa bin Mainaa Al
Madaniy rahimahullah seorang pengajar bahasa Arab, dan memiliki nama
kunyah Abu Musa, dan Qaaluun adalah julukannya. Dan diriwayatkan bahwa
Nafi’ menjulukinya dengan julukan tersebut karena bagusnya bacaannya.
Karena kata “Qaaluun” dalam bahasa Romawi berarti bagus. Dia wafat di
Madinah tahun 220 H. Sedangkan Warasy dia adalah ‘Utsman bin Sa’id bin
Al Mishriy rahimahullah, memiliki nama kunyah Abu Sa’id, dan Warasy
adalah nama julukannya. Dia dijuluki dengan julukan tersebut ada yang
mengatakan karena kulitnya yang sangat putih. Dia wafat di Mesir tahun
197 H.
Keempat : Ibnu ‘Amir Asy Syaami
dia adalah ‘Abdullah bin ‘Amir Al Yahshubiy, seorang hakim di Dimasyq
(Damaskus) pada masa kekhalifahan Al Walid bin ‘Abdil Malik. Dia diberi
nama kunyah Abu ‘Imraan, beliau termasuk salah seorang tabi’in. Wafat
di Dimasyq tahun 118 H.
Dua orang yang meriwayatkan
qira’at darinya adalah : Hisyam dan Ibnu Dzakwan. Adapun Hisyam dia
adalah Hisyam bin ‘Ammaar bin Nashir Al Qaadhiy Ad Dimasyqiy
rahimahullah diberi nama kunyah Abul Walid, dan dia wafat di sana pada
tahun 240 H. Sedangkan Ibnu Dzakwan dia adalah ‘Abdullah bin Ahmad bin
Basyir bin Zakwan Al Qurasiy Ad Dimasyqiy rahimahullah, dan diberi nama
kunyah Abu ‘Amr. Dia lahir tahun 173 dan wafat di Dimasyq (Damaskus)
tahun 242 H.
Kelima: ‘Ashim Al Kuufiy
dia adalah ‘Ashim bin Abi An Najuud, ada yang menamainya Ibnu Bahdalah,
Abu Bakr dan dia adalah salah seorang tabi’in. Wafat di Kufah tahun
128 H.
Dua orang yang meriwayatkan qira’at darinya adalah :
Syu’bah dan Hafsh. Adapun Syu’bah dia adalah Abu Bakr bin Syu’bah bin
‘Abbas bin Salim Al Kuufiy rahimahullah, wafat di Kufah pada tahun 193
H.
Sedangkan Hafsh adalah Hafsh Sulaiman bin Al Mughirah Al Bazzaz
Al Kuufiy rahimahullah, diberi nama kunyah Abu ‘Amr, dan dia adalah
orang yang tsiqah (kredibel). Ibnu Ma’in rahimahullah berkata : ”Dia
lebih menguasai qira’at dibandingkan dengan Abu Bakr”. Dia wafat tahun
180 H.
Keenam : Hamzah Al Kuufiy dia
adalah Hamzah bin Habib bin ‘Imarah Az Zayyat Al Faradhiy At Taimiy,
diberi nama kunyah Abu ‘Imarah. Dia wafat di Bahlawan pada masa
kekhilafahan Abu Ja’far Al Manshur tahun 156 H.
Dua orang
yang meriwayatkan qira’at darinya adalah : Khalaf dan Khalad. Adapun
Khalaf dia adalah Khalaf bin Hisyam Al Bazzaz rahimahullah, diberi nama
kunyah Abu Muhammad, wafat di Baghdad pada tahun 229 H. Sedangkan
Khallad dia adalah Khallad bin Khalid Ash Shairafiy Al Kuufiy
rahimahullah, diberi nama kunyah Abu ‘Isa, dan wafat di sana tahun 220
H.
Ketujuh : Al Kisaa’i Al Kuufiy dia
adalah ‘Ali bin Hamzah, Imam ahli Nahwu (tata bahasa Arab) kalangan
Kufiyun, diberi nama kunyah Abul Hasan. Dinamakan Al Kissaa’i karena
dia ihram memakai Kisaa’ (kain penutup Ka’bah). Dia wafat di Ranbawaih
salah satu daerah di perkampungan Ar Ray, ketika hendak menuju ke
Khurasan bersama Ar Rasyid tahun 189 H.
Dua orang yang
meriwayatkan qira’at darinya adalah : Abul Harits dan Hafsh Ad Duuriy.
Adapun Abul Harits dia adalah Al Laits bin Khalid Al Baghdadi
rahimahullah, wafat pada tahun 240 H. Sedangkan Hafsh Ad Duuriy dia
adalah perawi (yang meriwayatkan qira’at) dari Abi ‘Amr dan telah
berlalu penjelasannya.
Adapun tiga imam qira’at sebagai pelengkap (yang menggenapkan) qira’at sepuluh adalah :
Kedelapan : Abu Ja’far Al Madaniy, dia adalah Yazid bin Al Qa’qa’, wafat di Madinah pada tahun 128, dan ada yang mengatakan tahun 132 H.
Dua
orang yang meriwayatkan qira’at darinya adalah : Wardan dan Ibnu
Jammaaz. Adapun Wardan dia adalah Abul Harits ‘Isa bin Wardan Al Madaniy
rahimahullah, wafat di Madinah sekitar tahun 160 H. Sedangkan Ibnu
Jammaaz dia adalah Abu Ar Rabi’ Sulaiman bin Muslim bin Jammaaz Al
Madaniy, wafat di sana (Madinah) tidak lama setelah tahun 170 H.
Kesembilan : Ya’qub Al Bashriy,
dia adalah Abu Muhammad Ya’qub bin Ishaq bin Zaid Al Hadrami, wafat di
Bashrah pada tahun 205 H, dan ada yang mengatakan tahun 185.
Dua
orang yang meriwayatkan qira’at darinya adalah : Ruwais dan Rauh.
Adapun Ruwais dia adalah Abul ‘Abdillah Muhammad bin Al Mutawakkil Al
Lu’lu Al Bashriy rahimahullah, dan Ruwais adalah julukannya. Dia wafat
di Bashrah pada tahun 238 H. Sedangkan Rauh dia adalah Abul Hasan Rauh
bin ‘Abdil Mu’min Al Bashriy An Nahwiy, wafat tahun 234 H atau 235 H.
Kesepuluh : Khalaf,
dia adalah Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam bin Tsa’lab Al Bazzaar Al
Baghdadiy, wafat tahun 229 H, dan ada yang mengatakan bahwa tahun
kematiannya tidak diketahui.
Dua orang yang meriwayatkan
qira’at darinya adalah : Ishaq dan Idris. Adapun Ishaq dia adalah Abu
Ya’qub Ishaq bin Ibrahim bin’Utsman Al Warraq Al Marwaziy Al Baghdadiy,
wafat pada tahun 286 H. Sedangkan Idris dia adalah Abul Hasan Idris
bin ‘Abdil Karim Al Baghdadiy Al Haddaad. Dia wafat pada hari ‘Idul
Adha tahun 292 H.
Dan sebagian ulama menambahkan empat qira’at lagi di samping kesepuluh qira’at di atas, yaitu:
Pertama : qira’at Al Hasan Al Bashriy, mantan budak kaum Anshar, salah seorang tabi’in senior yang terkenal dengan kezuhudannya. Beliau wafat tahun 110 H.
Kedua : qira’at Muhammad bin ‘Abdirrahman yang dikenal dengan nama Ibnu Muhaishin wafat tahun 123 H. Dan dia adalah salah satu guru dari Abi ‘Amr.
Ketiga : qira’at Yahya bin Al Mubarak Al Yazidi An Nahwiy,
dari Baghdad, dan ia mengambil ( belajar qira’at ) dari Abi ‘Amr dan
Hamzah. Ia adalah salah satu guru dari Ad Duuriy dan As Suusiy. Beliau
wafat tahun 202 H.
Keempat : qira’at Abil Farj Muhammad bin Ahmad Asy Syanbuudziy .Beliau wafat tahun 388 H.
Sumber : Mabahits Fii Ulum Al Qur-an hal 182 - 186, karya syaikh Manna' Al Qaththan.
Tambahan :
mungkin ada yang bertanya : apa hikmah dibalik adanya beraneka ragam qiraah yang ada ?
saya ingin ambil satu contoh saja :
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman :
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
( QS Al Baqarah : 222 )
berdasarkan ayat tersebut para ulama ahlussunnah berselisih : apakah seseorang wanita yang telah suci dari haidh ( dan belum mandi ) boleh di"datangi" oleh suaminya ?
apa jawabannya berdasarkan manfaat yang bisa kita petik dari mempelajari qira'ah ?
jawabannya :
Diantara manfaat dan hikmah adanya perbedaan qira'ah adalah sebagai hujjah dan saling menafsirkan bagi qiraah yang lain, maka sebagaimana yang dinukil oleh Imam Ahli Tafsir Ath Thabari rahimahullah ada dua qiraah dalam membaca حَتَّى يَطْهُرْنَ ,
قال أبو جعفر: اختلفت القرأة في قراءة ذلك. فقرأه بعضهم:" حتى يطهرن" بضم"الهاء" وتخفيفها. وقرأه آخرون بتشديد"الهاء" وفتحها.
saya ingin ambil satu contoh saja :
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman :
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
( QS Al Baqarah : 222 )
berdasarkan ayat tersebut para ulama ahlussunnah berselisih : apakah seseorang wanita yang telah suci dari haidh ( dan belum mandi ) boleh di"datangi" oleh suaminya ?
apa jawabannya berdasarkan manfaat yang bisa kita petik dari mempelajari qira'ah ?
jawabannya :
Diantara manfaat dan hikmah adanya perbedaan qira'ah adalah sebagai hujjah dan saling menafsirkan bagi qiraah yang lain, maka sebagaimana yang dinukil oleh Imam Ahli Tafsir Ath Thabari rahimahullah ada dua qiraah dalam membaca حَتَّى يَطْهُرْنَ ,
قال أبو جعفر: اختلفت القرأة في قراءة ذلك. فقرأه بعضهم:" حتى يطهرن" بضم"الهاء" وتخفيفها. وقرأه آخرون بتشديد"الهاء" وفتحها.
Berkata
Abu Jafar ( Imam Ath Thabari ) : " Berselisih ahli qira'ah didalam
membacanya, sebagian ada yang membaca حَتَّى يَطْهُرْنَ dengan
mendhammahkan ha dan meringankannya, dan yang lain membaca dengan tasyid
dan fathah ( حَتَّى يَطَّهَّرْنَ - pent ).
وأما الذين قرءوه بتخفيف"الهاء" وضمها، فإنهم وجهوا معناه إلى: ولا تقربوا النساء في حال حيضهنّ حتى ينقطع عنهن دم الحيض ويَطهُرن
وأما الذين قرءوه بتخفيف"الهاء" وضمها، فإنهم وجهوا معناه إلى: ولا تقربوا النساء في حال حيضهنّ حتى ينقطع عنهن دم الحيض ويَطهُرن
Adapun
yang membaca dengan mendhammahkan dan meringankan ha, maka mereka
membawa makna ayat tersebut kepada : " Dan jangan dekati wanita pada
masa haidnya sampai darah haidhnya berhenti dan mereka mensucikan diri."
( dan mensucikan diri disini tidak terbatas pada mandi saja - pent )
( Kemudian Al Imam Ath Thabari rahimahullah membawakan 3 atsar dalam masalah ini - pent : abu asma andre )
وأما الذين قرءوا ذلك بتشديد"الهاء" وفتحها، فإنهم عنوا به: حتى يغتسلن بالماء.
( Kemudian Al Imam Ath Thabari rahimahullah membawakan 3 atsar dalam masalah ini - pent : abu asma andre )
وأما الذين قرءوا ذلك بتشديد"الهاء" وفتحها، فإنهم عنوا به: حتى يغتسلن بالماء.
Adapun
yang membaca dengan tasydid dan memfathahkan ha ( حَتَّى يَطَّهَّرْنَ -
pent ) maka mereka membawa kepada makna : " Sampai mereka mandi."
( Jami'ul Bayan 4/384 )
( Jami'ul Bayan 4/384 )
Dari
perbedaan qiraah disini bisa dipahami bahwa ada dua cara membaca حتى
يطهرن , yaitu : حَتَّى يَطْهُرْنَ ( sebagaimana yang termaktub di mushaf
kita sekarang ini ) dan حَتَّى يَطَّهَّرْنَ ( sebagaimana ini adalah
bacaan Al Kisa'i - At Taisir Fii Qira'at As Sab'ah hal 68 )
maka sebagai kesimpulan dari menggunakan qiraah sebagai hujjah bagi masalah fiqhiyyah adalah :
Dan ketika qira'ah حَتَّى يَطْهُرْنَ maka maknanya sampai dia suci dalam artian berhenti dari haidh, dan apabila qira'ah حَتَّى يَطَّهَّرْنَ maka maknanya sampai dia mandi...
Bukankah qiraah حَتَّى يَطَّهَّرْنَ merupakan penjelasan dari qiraah حَتَّى يَطْهُرْنَ ?
Karena lafadz suci yang terkandung didalam makna حَتَّى يَطْهُرْنَ masih mengandung dua kemungkinan, yaitu suci dari haidh atau mandi, maka datang hujjah dari qiraat lain yaitu حَتَّى يَطَّهَّرْنَ yang maknanya hanya satu yaitu suci dengan sebab mandi...
maka sebagai kesimpulan dari menggunakan qiraah sebagai hujjah bagi masalah fiqhiyyah adalah :
Dan ketika qira'ah حَتَّى يَطْهُرْنَ maka maknanya sampai dia suci dalam artian berhenti dari haidh, dan apabila qira'ah حَتَّى يَطَّهَّرْنَ maka maknanya sampai dia mandi...
Bukankah qiraah حَتَّى يَطَّهَّرْنَ merupakan penjelasan dari qiraah حَتَّى يَطْهُرْنَ ?
Karena lafadz suci yang terkandung didalam makna حَتَّى يَطْهُرْنَ masih mengandung dua kemungkinan, yaitu suci dari haidh atau mandi, maka datang hujjah dari qiraat lain yaitu حَتَّى يَطَّهَّرْنَ yang maknanya hanya satu yaitu suci dengan sebab mandi...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar